Banu telah bersekolah, yang lebih tepat disebut kelas bermain sambil belajar, setelah ibunya mendaftarkannya pada sebuah kelas online dipandu seorang perempuan muda, yang ceria dan sangat komunikatif berbicara seolah-olah ia masih berumur sama seperti usia Banu.
Tiga hari, atau empat hari, atau lima hari sebelumnya, Lola
mendaftarkan Banu, setelah melihat informasi kelas ini di lini masa medsosnya,
dan menyatakan memerlukan waktu khusus untuk mendampinginya. Kami berdiskusi,
yang agak malas saya lakukan, dan kesimpulannya, Lola lah yang akan mendampingi
Banu selama ia mengikuti kelas ini selama satu jam setiap dua kali sepekan:
Senin dan Jum'at.
Kelas ini akan berlangsug selama satu bulan, yang berarti selama
8 hari Banu akan bertemu anak-anak lain sepantarannya melalui layar laptop,
didampingi orangtua masing-masing, yang berharap mendapatkan manfaat dari kegiatan
semacam ini. Di masa lalu, kelas daring masih sangat langka,
bahkan tidak ada sama sekali mengingat keadaannya tidak sama seperti sekarang
ini. Jika Anda masih terlalu naif menolak pengaruh kemajuan teknologi informasi
dan komunikasi, dan menganggapnya menjadi sesuatu yang mesti dihindari,
sepertinya keyakinan semacam itu mesti Anda revisi. Sekarang, nyaris setiap
kegiatan masyarakat akan bersangkutan juga dengan alat-alat teknologi komunikasi
informasi.
Lola, setelah saya selidiki ternyata memiliki tujuan lain
daripada sekadar mengikutkan Banu, yaitu ingin mengobservasi kegiatan-kegiatan
di kelas ini yang bisa ia bawa dan aplikasikan ke dalam pekerjaannya sebagai seorang
psikolog anak. Lola memiliki biro psikologi dan konseling, di salah satu sudut
kantornya disediakan kamar khusus untuk anak-anak dilengkapi beberapa set meja-kursi,
selemari berisi mainan, dan trampolin, yang bisa dipakai anak-anak untuk
bermain. Pikiran saya tertuju kepada ruangan ini, saat Lola berterus terang
menyangkut maksud lainnya itu.
Saya awalnya agak ragu, bagaimana kelak Lola mensiasati pertemuan kelas Banu, mengingat kesibukannya yang hampir
setiap hari melakukan nyaris semuanya dari depan laptopnya: mengikuti program
sekolah penggerak, briefing, mengajar, rapat asosiasi, konseling. Tapi, it's
work. Lola masih bersemangat mendampingi Banu bermain-belajar setelah ia
sibuk di bironya.
Jika saja kegiatan semacam ini dilimpahkan kepada saya, saya
akan keder mengatur tenaga dan waktu di antara aktivitas mengutak atik tulisan,
atau mengajar. Dua kegiatan ini, dan ditambah beberapa kegiatan di luar rumah, sudah
cukup membuat energi saya menipis.
Semalam sebelumnya saya mendapatkan tugas membuatkan Banu setongkat
golf dari kardus bekas, seperti instruksi bahan-bahan yang harus dipersiapkan,
selain bola, piring kertas, kertas origami, dan benda paling disukai Banu: cat
air. Paginya saya membuat gawang dari kertas bekas, salah satu part dari
permainan yang akan dilakukan Banu di kelasnya.
Banu bersama ibunya saat mengikuti arahan dari guru onlinenya. Senin, 7 Maret 2022 |
Dari bahan-bahan ini lah guru yang perempuan itu menghidupkan
pelajaran di kelasnya, dengan bermain bola, mewarnai, dan mengenal jenis-jenis
emosi dari gambar beragam jenis ekspresi manusia.
Di hari Perempuan Internasional ini, akan sulit saya
bayangkan dan akan lain ceritanya, jika saya yang mendampingi Banu selama ia
belajar, sementara saat bersamaan gurunya adalah juga seorang bapak-bapak,
berkumis, dan pembawaannya yang seperti penagih hutang daripada layak disebut
guru yang menyenangkan.
Tanggung jawab mendidik anak, meskipun merupakan tugas
bersama antara seorang ayah dan ibu, tapi menurut saya, di usia seperti Banu,
perempuanlah sosok paling tepat mendampingi anak-anak. Peter L. Berger seorang
sosiolog, menyatakan usia 1-5 tahun merupakan masa paling kritis jika tidak
ditangani melalui tangan yang tepat, dan bagi saya di masa inilah seorang anak
akan lebih baik memenuhi banyak waktunya bersama ibunya.
Berger menyebut masa yang tidak lama ini sebagai masa
sosialisasi primer. Hanya lima tahun, untuk dibandingkan dengan lama usia seorang
manusia jika ia berumur panjang, yang akan digunakannnya untuk mengisi banyak
hal dalam kehidupannya. Seorang ibu kepada seorang anak, di masa ini terlibat
secara intens, menyodorkan beragam lambang, bahasa, dan makna ke dalam kehidupan
mungil sang anak menggunakan bahasa tanpa jenjang dan hirarki. Kepada dunia inilah
ekspresi keibuan lebih layak dikatakan sebagai bahasa ibu, setelah dalam
kenyataannya akan diambil juga oleh otoritas
seorang ayah. Peralihan dari ”otoritas ibu” ke ”kekuasaan ayah” ini disebut
psikolog sebagai abjeksi, yakni suatu masa yang biasanya akan mendatangkan
trauma dan kesakitan. Di titik ini para feminis menyebutnya sebagai asal mula
terjadinya ketimpangan jender.
Melalui masa sosialisasi, seorang anak akan mempersiapkan
dirinya belajar banyak hal sebelum ia beralih ke dalam kehidupan masyarakat
yang lebih kompleks. Di masa ini pula ia akan mengkorfimasi ulang seluruh
tatanan nilai yang sudah ia temukan sebelumnya di dalam pendidikan ibunya, dan
ketika tidak sesuai, seperti juga makhluk hidup lainnya, ia akan mulai
beradaptasi dengan cara mengafirmasi segala hal yang baru untuk ia pikirkan dan
lalukan. Seandainya saja seorang anak tidak mendapatkan intensitas perhatian
dari ibunya di masa ini, bagaikan Tarzan, ia tidak akan mampu berbahasa dan
berkomunikasi ke dunia luar selain dengan cara menggunakan bahasa gorila belaka.
Sampai sekarang, saya belum pernah menyaksikan sekelompok
bapak-bapak nampak berkumpul membungkuk-bungkukkan badannya, bergerak kesana
kemari karena dibikin sibuk oleh sekelompok anak yang sulit diajak berbaris.
Meninggikan suaranya agar bisa menarik perhatian, dan bertepuk tangan saat
memimpin menyanyikan sebuah lagu. Mereka pasti akan nampak kesulitan
mengajarkan anak usia dini hanya untuk memperkenalkan nama-nama anggota jari, mengajarkan
kebiasan menghormati orangtua, atau menggunting-gunting kertas berwarna-warni
untuk dibuat menjadi gantungan hiasan jendela. Semua itu akan kesulitan
dilakukan oleh seorang pria, yang lebih pantas ditemukan bekerja sebagai
mekanik di sebuah bengkel, daripada bekerja sebagai guru di sebuah sekolah PAUD.
Di tempat yang nyaris didominasi oleh suara kegembiraan
anak-anak itu, hanya perempuanlah yang lebih menyanggupi tugas semacam itu.
Suatu profesi yang terkait langsung dengan feminitas perempuan, yang lebih
sabar, kuat, dan tulus.
Sekarang cara mendidik anak tidak akan sama lagi dengan cara
orangtua di masa lalu melakukannya. Ilmu parenting juga mengalami banyak
perkembangan membutuhkan banyak disiplin keilmuan, semisal psikologi,
seksologi, jender, dan bahkan sains. Di masa lalu, untuk membesarkan anaknya, jika
bukan tradisi, orangtua akan mencari titik terang ke dalam kitab suci, atau masukan
dari imam-imam jemaat. Saat ini jika seorang ibu lebih banyak memiliki waktu di
rumahnya, ia juga dituntut beraktivitas sama seperti seorang yang sedang menuntut
ilmu: membaca banyak buku, mengikuti forum parenting, aktif di komunitas orangtua,
atau mengikuti tips trik cara merawat anak pada satu dua platform medsos.
Dengan cara seperti ini, keluarga di masa sekarang dan akan
datang menjadi basis utama kuat tidaknya suatu komunitas masyarakat. Benang
merah antara ibu, anak, dan masyarakat, jika diurai sisi meliknya akan bertemu
dalam ruang lingkup pendidikan, bukan sekadar sekolah, yang artinya lebih luas
dari ilmu pengetahuan yang selama ini dikira hanya bisa disediakan melalui
institusi formal pendidikan. Dan, figur kunci yang paling tahan banting mengemban
amanah ini tiada lain tiada bukan adalah perempuan.
Selama hari Perempuan Sedunia, 8 Maret 2022.