Rabu, 09 Maret 2022

Banu, Perempuan, dan Sekolah (Sebuah Esai untuk Hari Perempuan Internasional)

Banu telah bersekolah, yang lebih tepat disebut kelas bermain sambil belajar, setelah ibunya mendaftarkannya pada sebuah kelas online dipandu seorang perempuan muda, yang ceria dan sangat komunikatif berbicara seolah-olah ia masih berumur sama seperti usia Banu.

Tiga hari, atau empat hari, atau lima hari sebelumnya, Lola mendaftarkan Banu, setelah melihat informasi kelas ini di lini masa medsosnya, dan menyatakan memerlukan waktu khusus untuk mendampinginya. Kami berdiskusi, yang agak malas saya lakukan, dan kesimpulannya, Lola lah yang akan mendampingi Banu selama ia mengikuti kelas ini selama satu jam setiap dua kali sepekan: Senin dan Jum'at.

Kelas ini akan berlangsug selama satu bulan, yang berarti selama 8 hari Banu akan bertemu anak-anak lain sepantarannya melalui layar laptop, didampingi orangtua masing-masing, yang berharap mendapatkan manfaat dari kegiatan semacam ini. Di masa lalu, kelas daring masih sangat langka, bahkan tidak ada sama sekali mengingat keadaannya tidak sama seperti sekarang ini. Jika Anda masih terlalu naif menolak pengaruh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, dan menganggapnya menjadi sesuatu yang mesti dihindari, sepertinya keyakinan semacam itu mesti Anda revisi. Sekarang, nyaris setiap kegiatan masyarakat akan bersangkutan juga dengan alat-alat teknologi komunikasi informasi.  

Lola, setelah saya selidiki ternyata memiliki tujuan lain daripada sekadar mengikutkan Banu, yaitu ingin mengobservasi kegiatan-kegiatan di kelas ini yang bisa ia bawa dan aplikasikan ke dalam pekerjaannya sebagai seorang psikolog anak. Lola memiliki biro psikologi dan konseling, di salah satu sudut kantornya disediakan kamar khusus untuk anak-anak dilengkapi beberapa set meja-kursi, selemari berisi mainan, dan trampolin, yang bisa dipakai anak-anak untuk bermain. Pikiran saya tertuju kepada ruangan ini, saat Lola berterus terang menyangkut maksud lainnya itu.

Saya awalnya agak ragu, bagaimana kelak Lola mensiasati pertemuan kelas Banu, mengingat kesibukannya yang hampir setiap hari melakukan nyaris semuanya dari depan laptopnya: mengikuti program sekolah penggerak, briefing, mengajar, rapat asosiasi, konseling. Tapi, it's work. Lola masih bersemangat mendampingi Banu bermain-belajar setelah ia sibuk di bironya.

Jika saja kegiatan semacam ini dilimpahkan kepada saya, saya akan keder mengatur tenaga dan waktu di antara aktivitas mengutak atik tulisan, atau mengajar. Dua kegiatan ini, dan ditambah beberapa kegiatan di luar rumah, sudah cukup membuat energi saya menipis.

Semalam sebelumnya saya mendapatkan tugas membuatkan Banu setongkat golf dari kardus bekas, seperti instruksi bahan-bahan yang harus dipersiapkan, selain bola, piring kertas, kertas origami, dan benda paling disukai Banu: cat air. Paginya saya membuat gawang dari kertas bekas, salah satu part dari permainan yang akan dilakukan Banu di kelasnya.

Banu bersama ibunya saat mengikuti arahan dari guru onlinenya. Senin, 7 Maret 2022

Dari bahan-bahan ini lah guru yang perempuan itu menghidupkan pelajaran di kelasnya, dengan bermain bola, mewarnai, dan mengenal jenis-jenis emosi dari gambar beragam jenis ekspresi manusia.

Di hari Perempuan Internasional ini, akan sulit saya bayangkan dan akan lain ceritanya, jika saya yang mendampingi Banu selama ia belajar, sementara saat bersamaan gurunya adalah juga seorang bapak-bapak, berkumis, dan pembawaannya yang seperti penagih hutang daripada layak disebut guru yang menyenangkan.

Tanggung jawab mendidik anak, meskipun merupakan tugas bersama antara seorang ayah dan ibu, tapi menurut saya, di usia seperti Banu, perempuanlah sosok paling tepat mendampingi anak-anak. Peter L. Berger seorang sosiolog, menyatakan usia 1-5 tahun merupakan masa paling kritis jika tidak ditangani melalui tangan yang tepat, dan bagi saya di masa inilah seorang anak akan lebih baik memenuhi banyak waktunya bersama ibunya.

Berger menyebut masa yang tidak lama ini sebagai masa sosialisasi primer. Hanya lima tahun, untuk dibandingkan dengan lama usia seorang manusia jika ia berumur panjang, yang akan digunakannnya untuk mengisi banyak hal dalam kehidupannya. Seorang ibu kepada seorang anak, di masa ini terlibat secara intens, menyodorkan beragam lambang, bahasa, dan makna ke dalam kehidupan mungil sang anak menggunakan bahasa tanpa jenjang dan hirarki. Kepada dunia inilah ekspresi keibuan lebih layak dikatakan sebagai bahasa ibu, setelah dalam kenyataannya akan diambil juga  oleh otoritas seorang ayah. Peralihan dari ”otoritas ibu” ke ”kekuasaan ayah” ini disebut psikolog sebagai abjeksi, yakni suatu masa yang biasanya akan mendatangkan trauma dan kesakitan. Di titik ini para feminis menyebutnya sebagai asal mula terjadinya ketimpangan jender.

Melalui masa sosialisasi, seorang anak akan mempersiapkan dirinya belajar banyak hal sebelum ia beralih ke dalam kehidupan masyarakat yang lebih kompleks. Di masa ini pula ia akan mengkorfimasi ulang seluruh tatanan nilai yang sudah ia temukan sebelumnya di dalam pendidikan ibunya, dan ketika tidak sesuai, seperti juga makhluk hidup lainnya, ia akan mulai beradaptasi dengan cara mengafirmasi segala hal yang baru untuk ia pikirkan dan lalukan. Seandainya saja seorang anak tidak mendapatkan intensitas perhatian dari ibunya di masa ini, bagaikan Tarzan, ia tidak akan mampu berbahasa dan berkomunikasi ke dunia luar selain dengan cara menggunakan bahasa gorila belaka.

Sampai sekarang, saya belum pernah menyaksikan sekelompok bapak-bapak nampak berkumpul membungkuk-bungkukkan badannya, bergerak kesana kemari karena dibikin sibuk oleh sekelompok anak yang sulit diajak berbaris. Meninggikan suaranya agar bisa menarik perhatian, dan bertepuk tangan saat memimpin menyanyikan sebuah lagu. Mereka pasti akan nampak kesulitan mengajarkan anak usia dini hanya untuk memperkenalkan nama-nama anggota jari, mengajarkan kebiasan menghormati orangtua, atau menggunting-gunting kertas berwarna-warni untuk dibuat menjadi gantungan hiasan jendela. Semua itu akan kesulitan dilakukan oleh seorang pria, yang lebih pantas ditemukan bekerja sebagai mekanik di sebuah bengkel, daripada bekerja sebagai guru di sebuah sekolah PAUD.

Di tempat yang nyaris didominasi oleh suara kegembiraan anak-anak itu, hanya perempuanlah yang lebih menyanggupi tugas semacam itu. Suatu profesi yang terkait langsung dengan feminitas perempuan, yang lebih sabar, kuat, dan tulus.

Sekarang cara mendidik anak tidak akan sama lagi dengan cara orangtua di masa lalu melakukannya. Ilmu parenting juga mengalami banyak perkembangan membutuhkan banyak disiplin keilmuan, semisal psikologi, seksologi, jender, dan bahkan sains. Di masa lalu, untuk membesarkan anaknya, jika bukan tradisi, orangtua akan mencari titik terang ke dalam kitab suci, atau masukan dari imam-imam jemaat. Saat ini jika seorang ibu lebih banyak memiliki waktu di rumahnya, ia juga dituntut beraktivitas sama seperti seorang yang sedang menuntut ilmu: membaca banyak buku, mengikuti forum parenting, aktif di komunitas orangtua, atau mengikuti tips trik cara merawat anak pada satu dua platform medsos.

Dengan cara seperti ini, keluarga di masa sekarang dan akan datang menjadi basis utama kuat tidaknya suatu komunitas masyarakat. Benang merah antara ibu, anak, dan masyarakat, jika diurai sisi meliknya akan bertemu dalam ruang lingkup pendidikan, bukan sekadar sekolah, yang artinya lebih luas dari ilmu pengetahuan yang selama ini dikira hanya bisa disediakan melalui institusi formal pendidikan. Dan, figur kunci yang paling tahan banting mengemban amanah ini tiada lain tiada bukan adalah perempuan.


Selama hari Perempuan Sedunia, 8 Maret 2022.

Minggu, 21 November 2021

Pawa Pawa Wit Pawa Wit: Sebuah Esai untuk Hari Anak Internasional

”Pawa wit, pawa wit, pawa wit, poteko, poteko, potekoo..”

Banu bernyanyi. Dengan kosakata yang tidak tercatat dalam KBBI. Sudah tentu karena itu sama sekali tidak saya ketahui apa artinya. Mungkin juga Anda.

Seringkali memang ia suka meniru suara apa saja, lagu-lagu yang ia dengarkan, suara binatang, bahkan ungkapan-ungkapan kalimat percakapan antara saya dan Lola, ibunya.

Percaya atau tidak, beberapa hal absurd pernah saya lakukan untuk Banu agar ia bisa fasih berbicara, dan salah satunya dengan mengusap emas di sepanjang lidahnya, mengharapkan sesuatu keajaiban bakal terjadi setelah itu. Entah di usia Banu yang keberapa saya melakukan itu, yang saya lakukan diiringi salawat sama seperti saat di hampir tiap malam jelang ia terlepas tidur, saya ucapkan juga di ubun-ubun kepalanya.

Sebagai keluarga muda, tidak ada emas yang saya miliki, yang saya gunakan dalam kelakuan dianggap berbau tahayul itu,  kecuali menggunakan cincin emas Lola yang jarang ia pakai itu.

Itu mitos yang berkembang di sekitar kita yang membuat banyak orangtua merasa perlu melakukannya.

Jika Anda menyukai burung beo dan menginginkan agar ia dapat meniru suara apa saja, tindakan ini juga dapat Anda coba.

Anda tahu, pada umumnya manusia suka mempercayai apa yang tidak ia ketahui bagaimana cara kerja sesuatu itu dapat terjadi. Membiarkannya berlangsung berdasarkan hukum-hukum alam di luar dari pengetahuan mereka. Di titik itu, manusia menyerahkan sepenuhnya kepada iman. Memberikan peluang lebih besar kepada kekuatan di luar akal sehat mereka.

Selama ini, mitos bukannya telah hilang seperti kepercayaan masyarakat modern, yang mencari-cari  bentuk kepercayaan yang lebih canggih dan progressif. Setelah terjadi revolusi kesadaran, banyak orang menemukan sains seperti kebahagiaan masyarakat terdahulu mendapatkan mitos sebagai sistem penjelas atas seluruh pengalaman yang mereka lakukan. Saat ini hampir setiap orang mendudukkan sains sebagai satu-satunya paradigma keilmuannya, sembari  ia meninggalkan mitos yang sebenarnya  hanya berganti rupa ke dalam wujud yang lebih rasional dan masuk akal. Sains, meskipun getol sampai hari ini memukul mundur dan berusaha mematikan cerita-cerita tak masuk akal, tetap akan berkedudukan juga seperti mitos. Ia akan menjadi mitos baru dengan kadar kemasukakalan yang lebih dari kepercayaan sebelumnya.

Sampai sekarang, mitos yang lain juga masih saya lakukan. Seringkali jika pulang larut malam, pantangan bagi seseorang untuk sesegera masuk ke dalam rumah. Lebih afdol menunggu sejenak di luar untuk membuang energi negatif agar tidak ikut masuk ke dalam rumah. Jika Anda memiliki anak yang masih bayi, pantangan ini akan terus Anda ingat selama ini menjadi bagian dari keyakinan Anda.

Pengaruh negatif adalah tafsir saya saja, yang sebenarnya, dimaksudkan oleh orangtua di kampung sebagai makhluk halus. Anak bayi bisa peka dengan urusan makhluk gaib. Bagi sebagian orang, kemampuan ini dianggap ada kaitannya dengan jiwa bayi yang belum ternoda oleh pengalaman buruk dalam hidupnya, sehingga mata batinnya mampu menangkap gelagat  jahil makhluk halus di sekitarnya. Percaya atau tidak, saya bukan dalam rangka untuk meminta kepercayaan Anda pada bagian ini.

Tapi, Banu pernah mengalami semacam peristiwa ganjil. Suatu kali, di suatu malam belum lama Isya mulai meninggi, ia menangis tidak seperti biasa. Popoknya tidak sama sekali basah karena kencing dan bukan karena itu yang mendorongnya menangis. Tidak mungkin juga karena lapar, dan saat itu ia juga tidak sedang sakit perut. Tangisannya semakin menjadi-jadi meski ibunya telah menggendongnya selama sekian lama.

”Ada yang ikuti Banu pulang, kayaknya?” ungkap kecurigaan nenek Banu dalam bahasa Bugis.

Malam itu atas bantuan tetangga Banu saya bawa ke seorang sanro kampung tidak jauh dari rumah. Dari punggungnya dibacakan sesuatu yang dimulai dengan ucapan basmallah, satu-satunya kalimat yang saya tahu apa yang sedang diucapkan saat itu. Tidak sampai satu menit ”baca-baca”, entah apa, yang saya duga ia ambil dari potongan ayat suci Al Qur’an dilakukan. Tangisan Banu mulai mereda dan berhenti tidak lama setelah itu. Belum sampai di rumah Banu sudah terlelap tidur selama di perjalanan.

”Itu pohon besar di depan gerbang perumahan, memang ada penunggunya di situ.”

Saya mengangguk meski tidak sepenuhnya percaya dengan omongan tetangga. Tapi, di depan perumahan memang tumbuh menjulang tinggi dua pohon mangga hutan, tegak berdiri seperti gerbang raksasa berwarna hijau. Tempat paling pas bagi ular, kelelawar, dan tawon untuk bersarang. Di malam itu, sebelum Banu menangis seperti sedang meratapi sesuatu, kami sempat keluar rumah dan baru pulang setelah magrib lewat.

Pengalaman adalah guru yang paling berharga, dan setelah kejadian itu, sampai sekarang saya tidak akan meninggalkan petuah orang kampung menyangkut adab-adab ketika pulang ke rumah saat malam hari.

Sebelum Banu mampu berjalan, saya sering diimbau Bapak mengibaskan sajadah yang saya pakai setelah salat Jumat, di kedua lutut Banu. Menurut keyakinan itu akan mempercepat seorang anak bisa segera berjalan. Saya melakukannya. Percaya tidak percaya imbauan orangtua kerap bertuah. Kali ini juga dengan iringan salawat.

Butuh waktu berbulan-bulan bagi seorang anak manusia agar dapat berjalan tegak menyerupai seorang manusia dewasa. Kecakapan alamiah manusia berbeda dengan binatang, yang seperti anak kucing, misalnya, tidak membutuhkan waktu yang lama agar dapat menggunakan keempat kakinya secara bergantian saat mulai berjalan. Bagi manusia, meski hanya menggunakan kedua kakinya, butuh penyesuaian bagi otak kiri dan otak kanannya agar kedua kakinya dapat digerakkan tidak secara bersamaan. Dan, untuk tiba di waktu itu, bagi bayi ia mesti terlebih dahulu mengalami fase merangkak, menguatkan otot lehernya, menyiapkan tulang punggungnya, kedua titik di sikunya, dan menyetel fungsi kerja kedua bagian otaknya.

Banu karena bertubuh gempal melewati fase ini dengan caranya sendiri. Ada suatu masa ia kesulitan mengangkat tubuhnya yang berat. Menyeimbangkannya, dan mulai berani untuk bertumpu dari kedua telapak kaki dan lututnya.

Bulu mata Banu termasuk panjang oleh karena itu hasil perbuatan ibunya. Di awal-awal Banu belum berusia sebulan Lola sering menjilat tempat bulu matanya, dan entah bagaimana bulunya tumbuh panjang seperti sedang menggunakan bulu mata kw.

Ini imbauan yang berbau mitos, tapi hasilnya bekerja, setidaknya untuk diri Banu.

Sekarang ilmu parenting berkembang, disertai nubuat-nubuat modern yang mengajarkan cara mendidik anak idealnya bagaimana dan seperti apa. Tidak jarang hal-hal di atas mulai ditinggalkan menggantikan praktik perawatan anak yang pernah dilakukan orangtua dulu.

Mitos dihilangkan karena dianggap tahayul. Masyarakat bertransformasi menjadi entitas yang ilmiah menyebabkan paradigma kebudayaan mesti diafirmasi melalui cara berpikir rasional. Sains menjadi ilmu yang mencakup segala hal, tidak terkecuali bagaimana cara mendidik anak berganti pendekatan ilmu pendidikan modern yang rasional dan behavioristik. Anak-anak akhirnya tumbuh tidak dengan alam budaya orangtuanya, yang dengan sendirinya masa depannya tidak akan tumbuh bersamaan kebiasaan, pendekatan, tradisi, dan kepercayaan yang sekian lama hidup dalam pola pikir masyarakat dan semangat lokalitasnya.

Bagi saya akan fatal ketika menyamakan pengalaman masyarakat Barat dengan pengalaman masyarakat kita ke dalam satu kategori masyarakat modern. Hukum evolusi perkembangan masyarakat seperti dibayangkan ilmuwan Barat tidak sama sekali bergerak linier dan universal. Setiap masyarakat berkembang akan sangat ditentukan dari pengalaman historisnya, kebutuhan, dan bagaimana mereka mengorientasikan masa depannya. Di masyarakat Timur seperti kita akan sangat menarik dan merupakan ciri khas jika mitos bertahan bersamaan dengan tumbuhnya sains. Legenda masih hidup di tengah-tengah masyarakat global, dan keyakninan khas bangsa Timur yang membaca Barat dengan semangat pembaruan. 

Ada satu buku menarik belakangan ini yang saya baca secara bergantian dengan buku-buku lain, yakni tulisan bernas dari Reza Aslan, master teologi dari Universitas Harvard berkebangsaan Iran. Tuhan Sebuah Sejarah Manusia, judul bukunya yang berisi tentang pikiran skeptiknya tentang tuhan dan agama. Bagi Aslan, Tuhan dalam pengalaman manusia dan kebudayaannya tidak mencukupi untuk melukiskan pengalaman keberimanan atasnya. Dia percaya Tuhan itu universal dan hadir di mana-mana. Karena itu, Aslan menggali pengalaman manusia menyangkut keimanannya atas Tuhan, yang diyakininya hanya dari pengalaman manusialah Tuhan dapat hadir dan direfleksikan ke dalam konsep-konsep yang bisa dipercaya.

Itulah sebabnya, setiap pengalaman manusia berbeda-beda menciptakan kebudayaannya, dan Tuhan dari setiap kebudayaan sering diungkapkan melalui bermacam-macam representasi berupa nama, simbol, dan narasi kesukuannya.

Jika Anda penggemar pemikiran filsafat, dan menyukai gaya berfilsafat Ludwig Feuerbach tentang bagaimana manusia menciptakaan sangkaannya tentang Tuhan, maka Anda juga kemungkinannya akan menyukai buku ini. Anda mungkin kecewa karena ternyata Tuhan hanyalah orientasi pikiran kita yang dibumbui dari dalamnya dengan harapan-harapan ideal.

Ini seperti saat Anda dilema menentukan siapa yang harus menggunakan satu-satunya parasut penyelamat di antara Anda atau teman Anda. Pesawat mengalami korsleting dan membuatnya terjatuh. Dalam situasi ini Anda harus memilih satu orang yang lebih layak melanjutkan kehidupan, dikarenakan maut hanya menginginkan satu korban. Di film-film, sebelum mati biasanya yang berkorban akan menyampaikan pesan dan harapan-harapan terakhirnya kepada sang terpilih. Anda akan mati dan mengharapkan keinginan-keinginan Anda tetap hidup melalui teman Anda yang selamat.

Banu bersama kedua kakak sepupunya: Athaya dan Ayman


Itu analogi yang kurang cocok tapi mau bagaimana lagi. Tuhan lebih sering kita sebut sebagai pengabul harapan-harapan kita, persis seperti kisah lampu Aladdin. Dalam doa-doa umat manusia, Tuhan berubah dari wujud dirinya sendiri, menjadi sesuai seperti bagaimana kebutuhan dan harapan manusia menginginkannya. Si miskin melihatnya sebagai yang Maha Kaya, si penderita melihatnya sebagai yang Maha Penolong, si sakit melihatnya sebagai yang Maha Penyembuh, si kaya, kecil kemungkinan meminta pertolongan dikarenakan ia melihat Tuhannya tidak seperti orang-orang miskin melihatnya.

Tuhan menurut Aslan, hanya realisasi imajinal manusia yang diekspor ke dalam konsep-konsep karena ketidaksempurnaan manusia. Tuhan, tidak lebih dari citra antropologi manusia yang ia bicarakan sebagai teologi, kata Feuerbach.

Nah, di pembuka buku ini, Aslan menceritakan pengalamannya di masa kecil tentang Tuhan yang ia bayangkan seperti bapaknya, yang tinggi beruban dan memiliki kekuatan lebih besar dari dirinya, sehingga berkemampuan dapat naik ke atas langit dan membangun rumah di atasnya sebagai tempat tinggalnya.

Ia tidak yakin dari mana awalnya datang konsep Tuhan semacam itu, mungkin dari lukisan berwarna biru dan merah di kaca-kaca jendela di gereja, yang umumnya menampakan wajah Yesus dari Nazaret, atau di tempat lain. Aslan sendiri tidak yakin.

Saya akhirnya berpikir kapan saya mulai kali pertama memiliki konsep tentang Tuhan di pikiran saya, dan bukan konsep agama seperti diajarkan melalui kedua orangtua saya. Di umur berapa saya mulai memiliki pengertian mengenai Tuhan, di saat apa dan melalui apa. Apakah melalui agama, atau dari cara dan cerita lain. Apakah saya saat itu juga menganggapnya seperti seorang bapak, makhluk yang saya bisa lihat sehari-hari bekerja siang malam, merokok, dan di waktu lain terlihat memperbaiki mesin motor.

Tuhan bagaimanakah ia pertama kali saya kenal?

Sekarang, Banu sebelum tidur setelah membaca doa berupa surah Al Fatiha dan Al Ikhlas—tentu dengan cara ucapannya sendiri, terbiasa membuat semacam pengaduan kepada Tuhan.

”Ya Allah, Banu mau tidur. Maafkan Banu, ya Allah.”

”Ya Allah, minta rezekinya, mau beli mobil.. mau beli susu. Mau beli mainan.”

”Ya Allah, minta maaf terima kasih, ya Allah. Terima kasih mamak, terima kasih Abi…”

Begitulah, suatu pengalaman yang tidak ia dapatkan kecuali dari Lola, ibunya. Betapapun ia kerap melakukannya sambil sedikit berteriak, Tuhan belum sepenuhnya ia pahami. Kebiasan ini belum lama ia lakukan. Saya kaget saat mendengarnya pertama kali, dan mulai saat itu penasaran bagaimana Tuhan sebagai suatu nama dapat diketahui dan dimengerti anak-anak seperti Banu.

Tapi, saya tidak perlu seserius mengikuti orangtua pada umumnya yang sangat agamamis mendidik anaknya. Untuk seusia Banu saat ini, ia mesti banyak menghabiskan waktunya untuk bermain. Saya belum terdorong untuk menjelaskan apa arti Tuhan bagi ”pikirannya” yang masih kanak-kanak. Cukuplah ia tahu bahwa ada sesuatu yang ia jadikan tujuan pengharapan setiap malam, meski itu hanya agar ia dapat memiliki mainan dan susu yang sering ia minta jika sudah bermain.

Antara Tuhan dan pikirannya, masih terbentang jarak usia yang panjang. Ada dua titik yang demikian kompleks untuk saling dipertemukan kelak. 

Untuk saat ini, kalimat-kalimat semacam lagu Banu di atas yang lebih menarik perhatian saya. Dari mana ia mengambilnya, apa artinya untuk dirinya, dan terutama untuk saya. Tantangan yang lumayan sulit tidak berbeda dengan satu dua kata yang suka ia ucapkan dengan caranya sendiri, yang membutuhkan referensi ke dalam pengalaman bersama menyangkut apa yang sedang ia sebutkan.

Anak-anak sekarang lebih banyak menghadapi tantangan zaman tidak seperti satu atau dua dekade lalu, atau generasi kakek nenek mereka. Mereka akan tumbuh dalam satu dunia yang setiap detik mengalami disrupsi total, dan membuat kesadaran dan pengalaman mereka akan lebih beraneka. Lebih mudah menjadi bagian dari penduduk global meski hanya akan terus terhubung melalui dunia jaringan, yang membuat mereka akan lebih mudah cemas dan depresi akibat tekanan ekspektasi dunia yang menuntut progressivitas.

Anak-anak di masa depan akan lebih banyak menuntut kebebasannya, lebih banyak perlu perhatian menyangkut hak-haknya. Begitu pula kewajiban-kewajiban sosialnya tidak akan lagi dipengaruhi sekat-sekat rasial, agama, dan suku. Mereka akan tumbuh bersamaan dengan kemajuan teknologi informasi, pudarnya pesona masa lalu, dan sains sebagai cara berpikir dan pembuktian keyakinannya. Mereka akan tumbuh menjadi anak-anak zamannya.

Selamat Hari Anak Internasional 20 November 2021.