Selasa, 20 Agustus 2019

Banu Berusia Satu Tahun

Alhamdulillah. Tahun ini Banu menggenapkan usianya. Sehari sebelum perayaan kemerdekaan Indonesia, Banu resmi berusia satu tahun. Masih segar diingatan pertama kali melihat di hari kelahirannya, saya masih tidak percaya sudah memiliki seorang anak. Laki-laki malah. Aneh, saat itu saya bahkan sulit mendefinisikan perasaan yang saya alami. Satu hal saya pikirkan bagaimana nasib istri saya pasca operasi sesar. Perutnya kali kedua dibelah setelah sebelumnya pernah hamil di luar kandungan.

Banu adalah keajaiban bagi kami berdua. Di masa-masa pertumbuhannya kami sering dibuat terkejut melihat hal-hal apa saja yang ia alami. Mulai dari kenaikan berat badan, tangisan di malam hari, fokus sorot mata, pertumbuhan rambut, sampai pertumbuhan giginya. Semuanya satu demi satu datang silih berganti membawa suatu pengertian bahwa kelak ia akan tumbuh dewasa.

Dari hari ke hari, malam demi malam, kami belajar menjadi orangtua. Satu demi satu hal-hal baru tersingkap. Bagi Lola, istri saya, ini masa-masa yang luar biasa berat karena ia mesti beradaptasi menjadi seorang ibu yang berbagi tubuh dengan anaknya. Tapi saya yakin, walaupun tidak cukup, insting keibuannya bakal membantunya menghadapi masa-masa seperti ini.

Praktis dari semua itu kami harus menjadi lebih sadar diri, bagaimana menangani segala hal yang berkaitan dengan Banu. Biar bagaimana pun anak pertama adalah pengalaman pertama. Ia mesti dihadapi meski belum banyak dibekali pengetahuan cara mengasuh anak.

Banu semakin aktif di bulan-bulan terakhirnya.  Ia bahkan sudah pandai merayap—suatu tindakan yang susah payah ia lakukan. Kelak Banu akan paham, dunia di hadapannya tidak akan cukup dikenali hanya lewat merayap. Bahkan tidak sekedar melangkah. Lebih dari itu, kelak engkau harus menggunakan pikiranmu jua..

Banu, selamat satu tahun, Nak.     



Senin, 10 Juni 2019

Gigi Kelinci Banu


Banu sampai saat ini belum mampu berdiri dengan kedua kakinya. Ia masih kesulitan walaupun mesti bersandar mencari pegangan di hadapannya. Jangankan berdiri, di usianya yang sekarang (9 bulan), Banu belum mampu merangkak. Berbeda dari bayi seusianya, banyak yang sudah mampu merangkak ke sana kemari.

Namun satu kesyukuran, ia sudah bisa merayap menggerakkan kedua tangan dan kakinya. Memang perkembangan ini agak terlambat jika dibandingkan dengan perkembangan bayi di usianya. Tubuh Banu yang lumayan gemuk membuatnya kesulitan bergerak.

Pernah sebelum mampu merayap, Banu hanya bisa tengkurap tidak kemana-mana. Walaupun itu normal, tapi karena ia mengalami fase tengkurap yang lumayan lama, membuat kami khawatir. Jangan-jangan Banu tidak dapat merayap, apalagi merangkak.

Merangkak adalah fase sebelum bayi dapat berdiri atau duduk. Merangkak bukanlah fase yang akan dialami semua bayi. Namun, kegiatan ini penting karena mampu merangsang perkembangann otak kanan dan otak kirinya. Pergerakan silih berganti antara tangan kanan dan kaki kiri yang bergerak, dan juga sebaliknya adalah fungsi fisiologis yang berkaitan dengan ”cara otak” merespon pergerakan keduanya.

Di usia tujuh bulan, setelah Banu dihadiahi kereta oleh tetangga, ia memiliki pengalaman baru dalam menggerakkan tubuhnya. Berkereta membantu tulang kaki Banu kuat menopang tubuhnya. Selama ia menggunakan kereta ia dapat menggerakkan tubuhnya ke sana kemari. Kakinya yang mulai lincah digerakkan membuat kereta yang ditungganginya memerlukan ruang lapang agar ia dapat bergerak bebas.

Selama Banu berkereta, perhatian kami menjadi meningkat. Banu sudah dapat menjangkau barang apa saja yang ingin diraihnya. Pengalaman banyak mengambil barang apa saja membuat ia senang dan lebih aktif dari sebelumnya.

Baru saja pagi ini akta kelahiran Banu dibuat. Setelah 9 bulan setelah ia dilahirkan.

Beberapa minggu lalu Banu terserang flu. Sekarang ia sudah sehat seperti biasa. Kami saat ini tengah mencari hari yang tepat untuk menyuntikkan vaksin campak untuk Banu.

Oh iya. Sekarang gigi kelinci Banu sudah mulai nongol setelah dua giginya yang mungil lebih duluan tumbuh di bawahnya. 

Rabu, 20 Februari 2019

Banu dan Lorong Waktu

SUNGGUH sedikit menyesal tidak ada sama sekali foto kecil saya seusia Banu.

Pernah ada dua foto masa kecil saya: pertama masih berumur mungkin seusia Banu sekarang. Berpose tengkurap diambil melalui depan. 

Yang saya ingat foto itu menampakkan saya yang tidak mengenakan apa-apa. Foto itu kalau tidak salah diambil di rumah nenek di atas dipan yang terbuat dari besi bercat hijau. Di rangka atasnya berkeliling tergantung kelambu berwana putih yang sudah abu-abu, menjuntai hampir menyentuh lantai kayu.

Kini dipan itu hanya tersimpan begitu saja entah seberapa reot. Mengikuti usia nenek yang semakin tua belaka.

Foto yang kedua adalah foto dengan pose saya duduk memegang bola. Ini foto dengan pose yang paling saya ingat. Bola yang saya pegang itu masih bola dengan motif hitam putih clasic era 90-an. Foto ini diambil di Kupang, NTT. Di rumah yang sebagian besar dindingnya terbuat dari tripleks. Jika benar, saat itu saya berusia setahun.

Kini, dua foto itu raib entah kemana.

Praktis untuk mengingat kembali bagaimana rupa saya ketika kecil hanya mengandalkan ingatan. Itu pun sudah mulai sulit.

Ingatan dalam hal ini adalah kawan yang akrab atau sebaliknya, menjadi seseorang yang kian asing. Nyaris, untuk mengingat wajah sendiri saya mengalami kegagalan. Ingatan saya berhenti hanya ketika saya memasuki usia sekolah dasar. Ia lamat-lamat menjadi seorang yang asing, tidak saya kenal, tidak saya ketahui...

Mengingat wajah sendiri dalam pengertian tertentu mengingat masa lalu. Dari wajah-wajah kecil, kita bisa mengenang betapa waktu berjalan di belakang kita tanpa bisa kita kendalikan. Kian hari, masa lalu menjadi lebih mudah diingat ketika di satu titik daya khayal berhasil mencipta bayangan wajah kecil kita di alam memori. Di situ masa lalu menjadi akrab, seolah-olah ingin kembali.

Namun, waktu bergerak ke depan, bukan ke belakang. Itulah sebabnya, tanpa jangkar kekinian berupa foto, masa lalu hanyalah bayang samar-samar di benak. 

Itulah juga mengapa, saya sulit mengenang masa lalu. Sebuah foto, betapa pun ia sederhana, adalah benda masa lalu yang akan mengangkut berjuta cerita di masa akan datang.

Ia adalah lorong waktu.

Tapi, lorong waktu itu berhenti. Sekadar ingatan tanpa referensi. Tanpa gambar sama sekali.

Maka, untuk menebus itu, saya selalu mencari di mana rupa saya di wajah Banu. Saya sering mencarinya di saat ia menangis. Saat merengek. Saat marah, atau yang selalu saya lakukan, saat ia tertawa.

Namun, entah mengapa saya kerap gagal. Bisa jadi ini lantaran ingatan rupa kecil saya yang temaram dalam memori saya. Dia entah seperti apa.

Kabar baiknya, Banu saya siapkan lorong waktunya. Ia di hari esok bakal menyusurinya bukan dalam ingatan, tapi dari arsip semacam ini. Agar kelak ia tidak lupa dengan wajah sendiri. Saat ia masih seusia setengah tahun.

Ini cara agar ia bisa menjelajah ulang masa lalunya--yang nanti disertai cerita ketika ia kelak mempertanyakan bidikan ini.

Saya tak tahu di waktu itu apakah facebook masih ada. Sama halnya dengan kamera yang digunakan 30 tahun silam saat mengambil gambar saya. Atau bekas cetakan cokelat tembus pandang yang menjadi asal foto-foto itu dicuci.

Teknologi berubah, namun mesti ada ingatan yang harus bertahan.

Itulah sebabnya Banu saya abadikan dalam foto ini. Gambar ini memang tidak bisa menghadirkan bau khas badannya yang melekat seperti terdapat pada bantal-bantalnya --aroma yang saya sukai. Tapi, setidaknya ia bisa menerangkan bahwa foto ini diambil ketika ia tengah berusia setengah tahun. Dan di masa ini Banu kali pertamanya merasakan pengalaman unik bahwasannya yang kelak ia suapkan ke dalam mulutnya bukan saja ASI ibunya.

Itu berarti tubuh dan pikirannya juga akan banyak berubah, berubah dan berkembang

Lalu, malam-malam semakin larut.

Jumat, 25 Januari 2019

Banu dan Shock Therapynya

JALANAN belum sesak oleh kendaraan. Pagi itu lenggang saja. Sekira pukul 8 saya sudah berada di RS Paramount. Di lantai lobby belum ada satu pun pasien. Pegawai masih satu dua berdatangan. Belum ada tanda-tanda aktivitas sebagaimana umumnya rumah sakit.

Lola belum tiba. Ia masih dalam perjalanan bersama Banu dalam gendongannya.

Saya mengecek notifikasi hape barangkali ada informasi yang terlewatkan.

"Ping"

"Ping"

Beberapa pesan WA masuk ketika saya masih di jalan. Semuanya belum saya baca.

"Jadi Ananda saja"

"Ke Ananda ma ini"

"Langsungmiq ke sana."

Di tengah jalan Lola berubah pikiran. Ia berganti arah seketika.

Semula kami ingin ke RS Paramount, tapi mengingat pengalaman sebelumnya dan kecil kemungkinan ditangani secepatnya oleh dokter anak, Lola berganti arah: RS Ibu Anak Ananda.

Karena masih pagi, saya agak linglung mengingat-ingat RS Ananda. Di jalan apa ia? Di mana alamatnya? Di sebelah mana ia? Satu hal yang saya ingat di pagi itu saya pernah sebelumnya ke sana ketika menemani istri seorang karib bersalin. Tapi, di mana? Ingatan saya timbul tenggelam.

"Ping"

"Ping"

"Ananda yang di Landak"

Eureka. Itu dia. Di jalan Landak!

Seketika saya meninggalkan ruang lobi. Tanpa menunggu lift, saya menggunakan tangga ke lantai basement. Menuju parkiran dan bergegas menuju jalan Landak alamat RS Ananda berada.

Tidak sampai limabelas menit saya sudah tiba di RS Ananda. Naik menuju lantai satu dan menunggu kedatangan Lola. Sekira lima menit Lola tak kunjung datang. Saya menghubunginya via WA. Tidak ada tanda-tanda panggilan diangkat. Celaka. Energi hape tinggal satu persen. Sial.

Karena tak sabar. Saya menunggunya di depan pintu. Sesekali keluar melihat jika ada mobil yang masuk. Nihil.

Jam menunjukkan delapan lewat. Sudah hampir pukul sembilan. Mobil yang ditumpangi Lola belum juga tiba.

Penasaran, saya bergegas ke IGD. Tidak jauh dari pintu loby saya membukanya. Ternyata, Lola sudah di dalam. Banu nampak tertidur. Ia menggendongnya. Muka Banu sudah baikan dari sebelumnya. Hampir lebih satu jam lalu ia menangis hingga mukanya pucat.

Melihat mereka berdua saya lega. Tapi, bagaimana dengan Banu?

Pagi itu pagi yang menyerupai teror. Sekitar jam lima, Banu, seperti kebiasaannya, terbangun untuk menetek. Namun anehnya, sembari menangis ia enggan menetek. Sesuatu yang janggal. Dicoba berkali-kali Banu tetap menolak menetek. Berkali-kali ia palingkan wajahnya. Tangisannya terdengar berbeda. Erangannya ganjil. Aneh.

Karena tangisannya semakin menjadi-jadi kami bergantian menggendongnya. Biasanya dengan cara ini tangisan Banu akan cepat tenang. Selang beberapa lama tangisannya tidak berhenti. Yang aneh, semakin ke sini paras Banu berubah pucat. Perasaan saya jadi tidak enak. Ini kali pertamanya Banu menangis hingga pucat.

Saya menduga perut Banu sakit. Sebab dalam gendongan ia meronta-ronta. Melihat itu saya mengelus-elus punggungnya sembari melantunkan penggalan bacaan ayat suci. Saya lihat responnya. Tidak berubah. Kepalanya semakin berkeringat. Gerakan kakinya malah tidak menunjukkan tanda-tanda sakit perut.

Anehnya, karena wajahnya yang pucat dan tangisannya yang tak kunjung berhenti, saya menduga-duga Banu sempat melihat mahluk halus. Didorong kepanikan yang mulai datang, pikiran saya jadi aneh, memang. Saya bacakan saja segera shalawat dan doa Nadi Ali. Sial. Doa Nadi Ali hanya berhasil saya bacakan setengahnya saja. Saya lupa lanjutan setengahnya. Akhirnya saya hanya perbanyak shalawat, terutama shalawat kepada putri Rasulullah.

Tangisan Banu berhenti. Malanganya tidak lama ia menangis lagi. Ia masih berkeringat. Badannya meronta-ronta seolah-olah minta dilepaskan.

Sampai di sini saya menduga ada yang salah dengan diri Banu tengah terjadi, tapi entah apa?


Sehabis Subuh, Banu berangsur-angsur tenang. Melihatnya kembali sedia kala, kami berdua berkesimpulan Banu hanya jengkel karena terlambat menyusui. Memang sebelumnya ia menangis rewel karena tidak kunjung diberikan ASI. Sudah kebiasaan Banu tidak suka jika ASI ibunya terlalu penuh. Itulah sebabnya, seperti biasanya, sebelum menetek, Lola mengurangi sedikit ASInya dengan memerahnya. Itu memudahkan Banu mengisapnya dengan nyaman.

Saya sedang membuka-buka buku ketika Lola setengah berteriak dari dalam kamar. Ia memanggil dengan nada kaget. Sesuatu tengah terjadi dengan Banu. Seketika saya beranjak ke dalam kamar. Lola tersentak kaget, di dalam popok feses Banu berwarna merah. Itu darah. Ya, pagi itu feses Banu bercampur darah segar.

Saya kaget. Lola uring-uringan memanggil-manggil nama anaknya. Ia ingin menangis melihat keadaan Banu yang aneh itu. Keadaan ini pertama kalinya bagi kami berdua. Tidak ada referensi sebelumnya tentang keadaan yang mendera Banu. Lola panik. Ia ingin langsung melarikan Banu ke rumah sakit.

Setelah menenangkan diri beberapa saat, saya mengecek kondisi Banu. Mukanya sedikit pucat. Bibirnya sedikit lebih putih dari sebelumnya. Saya pegang kepalanya. Tidak demam. Tidak juga menggigil. Saya buka bajunya. Suhu tubuhnya nampak normal. Telapak kakinya juga masih sedikit merah. Secara umum Banu nampak baik-baik saja walaupun ia sedikit pucat. Ia bahkan tengah tertidur seperti biasa. Aneh.

Tanpa pikir panjang Lola berganti pakaian dan berlari menuju tetangga mencari bantuan dan keterangan. Mungkin saja ada info bermanfaat. Saya menduga-duga melihat Banu yang seperti itu ada gangguan di sistem pencernaaannya. Mungkin ada yang salah dengan ASInya belakangan ini. Tapi kecil kemungkinan.

Kemungkinan kedua saya menduga lubang anus Banu terjadi sobekan sehingga terjadi pendarahan. Asumsi ini saya samakan dari pengalaman ambeien yang pernah mendera Lola. Mungkin saja ini masa transisi bagi Banu sebelum ia MPASI. Lubang anusnya mesti dibiasakan untuk feses yang nanti berubah keras. Tapi, mengingat usia Banu yang baru memasuki lima bulan, rasa-rasanya keadaan itu masih terlalu awal bagi Banu.

Saya segera mencari tahu lewat mesin pencari via hape. Informasi mengkerucut kepada dua jawaban: Banu terserang bakteri dan atau terjadi pendarahan pada sistem pencernaannya.

Lola datang tanpa kabar baik. Ia disarankan langsung saja dilarikan ke rumah sakit. Setelah sempat membawa Banu ke rumah dokter tidak jauh dari kompleks rumah, kami akhirnya dengan tergesa-gesa menuju rumah sakit.

"Saya cek dulu di?" Sang dokter memeriksa lubang anus Banu.

Sebelumnya ia memeriksa area dada dan perut Banu dengan stetoskop. Normal.

"Berapa kali berak darah?"

"Baru pagi ini, dok." Saya jawab dengan yakin.

"Berapa kali berak dalam sehari?"

"Biasa dua-dua hari baru BAB, dok"

"Biasa ini terjadi sama bayi. ASIji?

"Iye, dok." Kali ini Lola yang menjawab.

Setelah menjelaskan singkat tentang ASI yang mudah terserap tubuh dan butuh waktu lama bagi bayi ASI untuk BAB, sang dokter mengatakan tidak usah khawatir tentang kondisi Banu.

"Kan ini baru pertama, kita observasimi dulu 1-2 hari dedekta. Kalau masih berak darah selama dua hari baru bawami ke sini lagi."

"Artinya tidak apa-apaji anakku, dok?"

"Tidakji. Kontipasi namanya ini"

Seketika sang dokter menjelaskan secara sederhana tentang apa itu konstipasi.

"Konstipasi lawannya diare. Karena fesesnya yang berubah keras karena terserap semua ASInya, itumi berdarah anus bagian dalamnya karena bergesakanki," jelas sang dokter sambil menempelkan kedua jarinya mengilustrasikan makna gesekan.

"Baik-baikji dedekta. Observasimi saja dulu nah."

Begitulah kami tidak lama di IGD. Bahkan kami tidak mesti diregistrasi karena keadaan Banu yang dinyatakan sehat-sehat saja. Lola sudah kembali tenang. Berkali-kali ia menciumi Banu yang berceloteh sendirian memainkan bibirnya. Tidak lama Lola memesan grab. Saya ke bawah menuju parkiran mengambil motor dan bergegas pulang.

Di perjalanan pulang saya ketawa-ketawa sendiri. Biar bagaimana pun Banu menang satu kosong. Pagi belum genap ia berhasil memberikan kami shock therapy. Sesuatu yang kami duga akan kami temukan lebih banyak lagi kedepannya.