Rabu, 20 Februari 2019

Banu dan Lorong Waktu

SUNGGUH sedikit menyesal tidak ada sama sekali foto kecil saya seusia Banu.

Pernah ada dua foto masa kecil saya: pertama masih berumur mungkin seusia Banu sekarang. Berpose tengkurap diambil melalui depan. 

Yang saya ingat foto itu menampakkan saya yang tidak mengenakan apa-apa. Foto itu kalau tidak salah diambil di rumah nenek di atas dipan yang terbuat dari besi bercat hijau. Di rangka atasnya berkeliling tergantung kelambu berwana putih yang sudah abu-abu, menjuntai hampir menyentuh lantai kayu.

Kini dipan itu hanya tersimpan begitu saja entah seberapa reot. Mengikuti usia nenek yang semakin tua belaka.

Foto yang kedua adalah foto dengan pose saya duduk memegang bola. Ini foto dengan pose yang paling saya ingat. Bola yang saya pegang itu masih bola dengan motif hitam putih clasic era 90-an. Foto ini diambil di Kupang, NTT. Di rumah yang sebagian besar dindingnya terbuat dari tripleks. Jika benar, saat itu saya berusia setahun.

Kini, dua foto itu raib entah kemana.

Praktis untuk mengingat kembali bagaimana rupa saya ketika kecil hanya mengandalkan ingatan. Itu pun sudah mulai sulit.

Ingatan dalam hal ini adalah kawan yang akrab atau sebaliknya, menjadi seseorang yang kian asing. Nyaris, untuk mengingat wajah sendiri saya mengalami kegagalan. Ingatan saya berhenti hanya ketika saya memasuki usia sekolah dasar. Ia lamat-lamat menjadi seorang yang asing, tidak saya kenal, tidak saya ketahui...

Mengingat wajah sendiri dalam pengertian tertentu mengingat masa lalu. Dari wajah-wajah kecil, kita bisa mengenang betapa waktu berjalan di belakang kita tanpa bisa kita kendalikan. Kian hari, masa lalu menjadi lebih mudah diingat ketika di satu titik daya khayal berhasil mencipta bayangan wajah kecil kita di alam memori. Di situ masa lalu menjadi akrab, seolah-olah ingin kembali.

Namun, waktu bergerak ke depan, bukan ke belakang. Itulah sebabnya, tanpa jangkar kekinian berupa foto, masa lalu hanyalah bayang samar-samar di benak. 

Itulah juga mengapa, saya sulit mengenang masa lalu. Sebuah foto, betapa pun ia sederhana, adalah benda masa lalu yang akan mengangkut berjuta cerita di masa akan datang.

Ia adalah lorong waktu.

Tapi, lorong waktu itu berhenti. Sekadar ingatan tanpa referensi. Tanpa gambar sama sekali.

Maka, untuk menebus itu, saya selalu mencari di mana rupa saya di wajah Banu. Saya sering mencarinya di saat ia menangis. Saat merengek. Saat marah, atau yang selalu saya lakukan, saat ia tertawa.

Namun, entah mengapa saya kerap gagal. Bisa jadi ini lantaran ingatan rupa kecil saya yang temaram dalam memori saya. Dia entah seperti apa.

Kabar baiknya, Banu saya siapkan lorong waktunya. Ia di hari esok bakal menyusurinya bukan dalam ingatan, tapi dari arsip semacam ini. Agar kelak ia tidak lupa dengan wajah sendiri. Saat ia masih seusia setengah tahun.

Ini cara agar ia bisa menjelajah ulang masa lalunya--yang nanti disertai cerita ketika ia kelak mempertanyakan bidikan ini.

Saya tak tahu di waktu itu apakah facebook masih ada. Sama halnya dengan kamera yang digunakan 30 tahun silam saat mengambil gambar saya. Atau bekas cetakan cokelat tembus pandang yang menjadi asal foto-foto itu dicuci.

Teknologi berubah, namun mesti ada ingatan yang harus bertahan.

Itulah sebabnya Banu saya abadikan dalam foto ini. Gambar ini memang tidak bisa menghadirkan bau khas badannya yang melekat seperti terdapat pada bantal-bantalnya --aroma yang saya sukai. Tapi, setidaknya ia bisa menerangkan bahwa foto ini diambil ketika ia tengah berusia setengah tahun. Dan di masa ini Banu kali pertamanya merasakan pengalaman unik bahwasannya yang kelak ia suapkan ke dalam mulutnya bukan saja ASI ibunya.

Itu berarti tubuh dan pikirannya juga akan banyak berubah, berubah dan berkembang

Lalu, malam-malam semakin larut.