SUNGGUH sedikit menyesal
tidak ada sama sekali foto kecil saya seusia Banu.
Pernah ada dua foto masa
kecil saya: pertama masih berumur mungkin seusia Banu sekarang. Berpose
tengkurap diambil melalui depan.
Yang saya ingat foto itu
menampakkan saya yang tidak mengenakan apa-apa. Foto itu kalau tidak salah
diambil di rumah nenek di atas dipan yang terbuat dari besi bercat hijau. Di
rangka atasnya berkeliling tergantung kelambu berwana putih yang sudah abu-abu,
menjuntai hampir menyentuh lantai kayu.
Kini dipan itu hanya
tersimpan begitu saja entah seberapa reot. Mengikuti usia nenek yang semakin
tua belaka.
Foto yang kedua adalah foto
dengan pose saya duduk memegang bola. Ini foto dengan pose yang paling saya
ingat. Bola yang saya pegang itu masih bola dengan motif hitam putih clasic era
90-an. Foto ini diambil di Kupang, NTT. Di rumah yang sebagian besar dindingnya
terbuat dari tripleks. Jika benar, saat itu saya berusia setahun.
Kini, dua foto itu raib
entah kemana.
Praktis untuk mengingat
kembali bagaimana rupa saya ketika kecil hanya mengandalkan ingatan. Itu pun
sudah mulai sulit.
Ingatan dalam hal ini
adalah kawan yang akrab atau sebaliknya, menjadi seseorang yang kian asing.
Nyaris, untuk mengingat wajah sendiri saya mengalami kegagalan. Ingatan saya
berhenti hanya ketika saya memasuki usia sekolah dasar. Ia lamat-lamat menjadi
seorang yang asing, tidak saya kenal, tidak saya ketahui...
Mengingat wajah sendiri
dalam pengertian tertentu mengingat masa lalu. Dari wajah-wajah kecil, kita
bisa mengenang betapa waktu berjalan di belakang kita tanpa bisa kita
kendalikan. Kian hari, masa lalu menjadi lebih mudah diingat ketika di satu
titik daya khayal berhasil mencipta bayangan wajah kecil kita di alam memori.
Di situ masa lalu menjadi akrab, seolah-olah ingin kembali.
Namun, waktu bergerak ke
depan, bukan ke belakang. Itulah sebabnya, tanpa jangkar kekinian berupa foto,
masa lalu hanyalah bayang samar-samar di benak.
Itulah juga mengapa, saya
sulit mengenang masa lalu. Sebuah foto, betapa pun ia sederhana, adalah benda
masa lalu yang akan mengangkut berjuta cerita di masa akan datang.
Ia adalah lorong waktu.
Tapi, lorong waktu itu
berhenti. Sekadar ingatan tanpa referensi. Tanpa gambar sama sekali.
Maka, untuk menebus itu,
saya selalu mencari di mana rupa saya di wajah Banu. Saya sering mencarinya di
saat ia menangis. Saat merengek. Saat marah, atau yang selalu saya lakukan,
saat ia tertawa.
Namun, entah mengapa saya
kerap gagal. Bisa jadi ini lantaran ingatan rupa kecil saya yang temaram dalam
memori saya. Dia entah seperti apa.
Kabar baiknya, Banu saya
siapkan lorong waktunya. Ia di hari esok bakal menyusurinya bukan dalam
ingatan, tapi dari arsip semacam ini. Agar kelak ia tidak lupa dengan wajah
sendiri. Saat ia masih seusia setengah tahun.
Ini cara agar ia bisa
menjelajah ulang masa lalunya--yang nanti disertai cerita ketika ia kelak mempertanyakan
bidikan ini.
Saya tak tahu di waktu itu
apakah facebook masih ada. Sama halnya dengan kamera yang digunakan 30 tahun
silam saat mengambil gambar saya. Atau bekas cetakan cokelat tembus pandang
yang menjadi asal foto-foto itu dicuci.
Teknologi berubah, namun
mesti ada ingatan yang harus bertahan.
Itulah sebabnya Banu saya
abadikan dalam foto ini. Gambar ini memang tidak bisa menghadirkan bau khas
badannya yang melekat seperti terdapat pada bantal-bantalnya --aroma yang saya
sukai. Tapi, setidaknya ia bisa menerangkan bahwa foto ini diambil ketika ia
tengah berusia setengah tahun. Dan di masa ini Banu kali pertamanya merasakan
pengalaman unik bahwasannya yang kelak ia suapkan ke dalam mulutnya bukan saja
ASI ibunya.
Itu berarti tubuh dan
pikirannya juga akan banyak berubah, berubah dan berkembang
Lalu, malam-malam semakin
larut.