Jumat, 25 Desember 2020

Menggambar Kuda

 Belum lama saya tiba di rumah, beberes diri dan tiba-tiba Banu bangun dari tidur siangnya. Jam 5-an memang jam bangun Banu.

Belum lama kesadarannya membaik, Banu sudah merengek minta dibukakan laptop. Ia ingin menonton Tayo, bis kecil kesukaannya, yang menjadi kesenangannya belakangan ini.

Akhirnya saya mengalihkan perhatiannya dan mengajaknya bermain.




Saya melihat pensil warna dan mengajaknya mengambar bersama. Setelah saya menggambarkannya kuda, saya memintanya meniru suara kuda.

"Banu, bagaimana suara kuda, nak?"

"He e e ee e."

Banu, apakah kamu menyadarinya? Kepala kudanya kebesaran!

Minggu, 20 September 2020

Banu Berulang Tahun


Sabtu, 01 Agustus 2020

Banu dan Kurban


Selasa, 16 Juni 2020

Karya Seni Banu

Belakangan, sudah sangat sering Banu bertingkah dan bermain corat-coret di kulit permukaan dinding. Ia bisa menggunakan apa saja, yang ia anggap mampu mengguratkan garis berwarna warni tanpa memerhatikan di mana ia bisa melakukannya. 

Pensil, pulpen, dan spidol, benda-benda ajaib bagi ia ketika mukanya menyiratkan kesenangan apabila berhasil membuat sekumpulan garis acak, melintang, saling tindih, saling silang, melengkung, zig zag... Otomatis, kelakuannya ini membuat hampir setiap sudut rumah menjadi mirip galeri seni corat coret.  

“Ya ya ya ya.”

Mulutnya tidak berhenti berdawam seperti merayakan kebebasan. Ia ibarat seniman lukis yang tengah bergelut dengan entah apa di kepalanya. Dari lingkar kepalanya, otaknya pasti bekerja sedemikian rupa. Menggerakkan syaraf motoriknya membuat lengannya bergerak bebas saja naik turun, ke kanan, ke kiri. Sesekali menggunakan lengan kanan, tapi lebih sering lengan kirinya, yang berarti sebaliknya bagi otak kanan dan otak kirinya bergantian bekerja.

Sak, sak, sak, tidak lama, muncul garis-garis. Lurus, melingkar, berkelok, naik, turun…       

Hampir setiap hari dengan tiga benda itu, ia membuat karya bebas tanpa beban sama sekali. Selain di dinding, sialnya ia bisa melalukan hal yang sama di hampir semua benda yang dirasanya cocok untuk mengekspresikan kesenangannya itu; sofa, kertas, meja, almari, sprei dipan, sampul buku, sarung, bahkan punggung atau kaki saya jika tidur. 

Sebenarnya, kelakuan Banu ini sudah lama ia lakukan. Cuman baru beberapa minggu ini tingkah polahnya itu demikian intens dan seporadis. Sudah banyak spidol ia preteli. Sudah sering pakaiannya penuh tinta, dan lebih sering lagi tubuhnya mirip orang suku Indian ketika menjalani ritual peperangan dipenuhi warna warni.


Banu saat memasuki usia 1 tahun. Sehari sebelum 17 Agustus 2019
Banu saat memasuki 1 tahun. 
Sehari sebelum 17 Agustus 2019



Saya pribadi santai saja melihat tingkah Banu. Demikian juga ibunya yang nampaknya tidak keberatan jika dinding dan benda-benda di rumah ditandai bekas ”karya seni” Banu. Hari ini, waktunya bagi ia mencoba apa saja. Bereksperimen, mengenal, dan membaui tinta berwarna warni. Mengenal ”merah”, ”biru”, ”hijau”...

Sebagai makhluk intrepetatif, seringkali saya menarik dan membayangkan bentuk-bentuk yang tidak sengaja muncul dari corat-coret Banu di permukaan dinding. Hal ini sama ketika saya mampu menggambar dalam imajinasi saya tentang, semisal, muka gorila dari  garis motif gambar-gambar tegel di kamar mandi. Atau saat seperti suatu pola tertentu muncul dari bekas air liur kering di atas bantal. Atau pola-pola garis yang membentuk sesuatu yang tidak sengaja ditemukan dari rumbai horden di atas jendela.

Jadi, kesenangan Banu ini ada gunanya juga, setidaknya saya bisa menilai dari awal, bahwa kemungkinan besar tangan aktif Banu adalah tangan kiri, sama yang diturunkan dari neneknya.

Sekarang, selain aktifitas ”keseniannya” itu, saya kerap dibuat ngos-ngos jika diminta Banu meniup sekantong balon yang suka ia jadikan roket.  Tentu bukan meledakkan balon hijau, yang jadi omongan ngawur ustaz youtube itu.


Minggu, 31 Mei 2020

Bagaimana Cara Banu Politisasi Bahasa

Ada tiga binatang, selain sapi dan segerombol binatang mamalia yang suka ia tiru suaranya setiap kali ia menunjukkan kemampuan mengingatnya, saat melihat poster bergambar aneka jenis binatang. Sebelum itu, Banu telah meloncat ke atas tempat tidur, dan menggunakan jari telunjuknya untuk memastikan bahwa binatang yang ia hapal, tidak meleset dengan gambar yang terpampang di poster yang ditempel tepat di atas ujung dipan.

Ia dengan senang hati akan mengatakan ”moo” seolah-olah mewakili suara gambar sapi yang barusan ia tekan-tekan menggunakan ujung jarinya, atau ”mbek” untuk menegaskan gambar yang ia tunjuk adalah kambing, meski terkadang ia sulit membedakan yang mana domba dan yang mana kambing.

Kegiatan ini akan terus ia ulang-ulang jika ada yang mengingatkannya mengenai binatang-binatang dengan melempar sebuah pertanyaan.

”Coba tunjukkan yang mana kuda, Banu?”, ”Kalau monyet, yang mana?”, ”kalau bebek, nak?”, begitu seterusnya, dan ia setelah itu akan mudah menunjukkan binatang-binantang yang dimaksud.

”Abi, babi!”

”Abi, babi!”

Kali ini Banu sedang menunjuk binatang berkulit pink, yang kadang terdengar aneh seolah-olah itu kalimat pernyataan yang menyatakan saya adalah babi, alih-alih sebagai sebuah ujaran penegasan.


Gambar vektor wajah Banu


Kata ”Abi” (arab: bapak) dan ”babi” akan kabur artinya jika Banu menggunakannya tanpa diikuti konteks peristiwa di belakangnya. Kadang itu bisa berarti ”babi” jika yang terjadi seperti konteks di atas. Kadang pula suku kata ”Bi” dipakai Banu untuk memanggil. ”Bi” dengan dua kali penegasan tanda ia membutuhkan perhatian untuk bermain.

Kadang ia sampai harus memanggil sambil berlari ke ruang depan dan mendapati saya di depan laptop. Saat ini, ia akan menarik-narik tangan saya yang seolah-olah ingin mengajak ke suatu tempat. Sering kali kejadian ini akan berubah seperti dua orang yang sedang terlibat lomba tarik tambang. Saling mempertahankan posisi agar tidak sedikit pun bergeser. Meski demikian, Anda pasti tahu siapa bakal memenangkan ”lomba” tarik ulur ini pada akhirnya.

Oh iya. Tiga binatang yang sering Banu katakan jika ia melihatnya adalah nyamuk, semut, dan cacing, yang sebenarnya adalah ulat berkaki seribu! Masing-masing akan berubah pengucapannya menjadi ”mu’” untuk nyamuk, ”mu’” juga untuk semut, dan ”caccing” untuk ulat berkaki seribu.

Untuk yang terakhir ini Banu akan bersegera menjulurkan sapu yang ia ambil di sudut ruangan menghendaki agar binatang yang tidak benar-benar berkaki seribu itu segera dienyahkan.

”Bi..."

”Bi..bi!”

Kali ini, sudah tentu bukan babi yang ia panggil, kan?

Selasa, 03 Maret 2020

Banu, Bagaimanakah Bunyi Suara Zarafah?


Mainan Banu semakin beragam setelah ibunya membelikannya dua set maneken hewan-hewan. Jadi, selain Banu sering meminta ”dibacakan” buku-buku ”pilihannya”, sekarang saya menjadi teman bermainnya paling setia untuk menghidupkan karakter maneken hewan itu, yang seringkali dimintanya dengan mengacung-acungkan ”zarafah” atau ”kuda”.

”Kkhwauu”, saya mengaum membuat suara maneken ”harimau” atau ”singa”, yang kadang membuat saya sulit meniru jenis suara  yang berbeda dari kedua hewan itu. Di alam bebas Anda mungkin mampu membedakan mana suara harimau mana suara singa, tapi setiap menirukan suara harimau atau singa, sepertinya saya mendengar suara yang sama keluar dari mulut saya.

Tapi, walaupun begitu, tidak diduga-duga nampaknya saya justru malah menciptakan ”anak singa” oleh karena sekarang Banu menjadi suka mengaum setiap kali selesai dimandikan. Untung saja suara kambing tidak begitu menarik minatnya tidak sama seperti ia seringkali berkata ”moo” dengan koor panjang untuk menunjuk sapi, hewan pertama yang ia suka tiru bunyinya. 


Banu dan mainan binatangnya


Patung-patung hewan mini ini ada manfaatnya bagi pertumbuhan imajinasi anak saya, setelah ia sering diperlihatkan macam-macam buah-buahan melalui poster yang saya tempel di dinding kamar. Setidaknya secara ril ia bisa melihat bentuk langsung hewan-hewan daripada sekadar melihat gambar dua dimensi hanya melalui di atas kertas.

”Untuk alat tes.” Ungkap Lola, setelah saya menanyakan mengapa ia membeli mainan aneka hewan empat pasang sekaligus.

”Ini satu untuk Banu, ini satu untuk sekolah.”

Kami berkeliling setelahnya untuk mencari seperangkat mainan yang terdiri dari beraneka jenis ukuran balok-balok warna warni.

”Itu untuk Banu atau sekolah?”

”Untuk sekolah” jawab Lola tanpa harus menoleh.

Sejak itu saya sering dibuat bingung jika Lola berencana membeli seperangkat mainan. Lebih bingung lagi saat ia berkelilling menengok etalase dari bawah ke atas, dari kanan ke kiri mencari boneka khusus yang pakaiannya mampu ditanggalkan seperti seorang manusia yang bertelanjang dada.

”Untuk pendidikan seks dini.”

 ”Saya kira untuk Banu.” 

Semakin ke sini saya mulai merasakan perkembangan ego anak saya. Banu sudah tidak gampang dibujuk seperti sebelumnya. Ia sekarang mudah rewel jika ada permintaannya yang tidak begitu saja dipenuhi. Sebagai contoh, Banu memiliki kebiasaan baru ketika menetek bersama ibunya hanya dengan cara sambil ”dibacakan” buku. Tanda kutip itu menandai bahwa sebenarnya Banu saya duga senang jika ia diperdengarkan cerita dari gambar-gambar yang suka ia lihat di bukunya.

Sekarang setelah dia diberikan maneken hewan-hewan dari sebagian hutan Afrika, saya sesekali mesti berperan seperti Tarzan memanggil seluruh hewan itu berdiri di hadapan Banu. Zarafah, rusa, singa, keledai, kuda, kambing, sapi, kerbau, domba dan serigala, sekarang sudah berdiri sigap sama seperti dalam adegan raja Simba yang berdiri di atas bukit memanggil seluruh rakyat kerajaan hewannya.

Suara kambing dan sapi suara paling gampang saya tiru, tidak sama seperti suara auman harimau atau singa, apalagi membuat suara keledai dan zarafah. Pelajaran biologi waktu sekolah tidak pernah sama sekali mengajarkan kami bagaimana bunyi hewan tertinggi di dunia ini selain daripada ia kerap dijadikan contoh bagaimana hewan-hewan masa lalu berevolusi seperti dijelaskan dalam teori evolusi Darwin.

Konon dulu zarafah hewan berleher pendek dan berevolusi memiliki leher dan kaki-kaki yang tingi karena persediaan makanan tersisa hanya dapat dicapai di pucuk-pucuk pepohonan tinggi.  Kuda tetap berleher pendek tidak seperti zarafah, yang selalu mendongakkan lehernya ke ujung tangkai-tangkai pohon. Seandainya kuda melakukan hal yang sama, sekarang ada dua hewan yang berleher panjang dan berkaki-kaki tinggi.

Saya menduga selain penyabar, zarafah hewan pendiam daripada kuda. Sampai sekarang saya tidak pernah mendengar bagaimana model suaranya.


Rabu, 19 Februari 2020

Banu dan DPT Lanjutan


DPT. Besok Banu akan diberikan DPT lanjutan setelah semalam saya membuka whatsapp dan menghubungi tantenya demi memastikan kapan waktu terbaik Banu diimunisasi. Setelah dua kali diberikan vaksin tahap awal, selebihnya Banu selalu divaksin tantenya yang bekerja di Puskesmas tidak jauh dari tempat kami tinggal. Sekarang, satu-satunya tanda Banu telah divaksin adalah luka bekas suntik di otot lengan kirinya. Tanda itu dibuat setahun lalu oleh petugas puskesmas yang bertingkah seolah-olah ia adalah perempuan. Parasnya berkulit cerah lumayan tampan dengan rambut mengkilap khas pekerja muda yang senang tampil klimiks. “Dulu orangnya gagah,” kata nenek Banu yang sebenarnya tidak usah ia ucapkan karena penampilannya memang demikian. Ia dengan baik hati selalu dapat dipanggil ke rumah ketika Banu sudah waktunya diberi vaksin sehingga kami tidak mesti repot-repot antri di puskesmas atau rumah sakit. Tanda di lengan Banu itu terlihat kontras berbentuk lingkaran dengan warna daging yang agak lebih cerah dari warna kulit aslinya. Saya yakin suatu saat warna kulit itu akan berubah menyerupai bekas luka jahitan di lutut kanan milik saya, berwarna gelap dan mengkilap. Tanda ini mau tidak mau akan ia bawa hingga dewasa. Suatu waktu jika ia sudah mahir bercerita, bisa saja ia akan mengenang dengan mencari tahu kenapa tanda itu tersemat di otot lengannya saat ia saling memamerkan kisah masa lalu bersama teman-temannya. Mungkin itu akan ia alami saat ia berusia enam atau delapan tahun sambil menarik lengan bajunya memperlihatkan bekas suntik dari baju seragam yang ia kenakan. Kini usia Banu genap delapanbelas bulan. Ia makin mahir menunjuk jenis buah-buahan ketika saya menyebutkan nama-namanya dari poster yang sengaja saya tempel di kamar tempatnya sering bermain. Jika saya menyuruh menunjuk buah durian atau semangka, Banu dengan sigap bakal menengok ke pojok kiri atau kanan bawah posisi dua buah itu berada. Di poster itu ada duapuluh delapan jenis buah yang seiring waktu akan ia ketahui kecuali buah-buahan yang tumbuh di negeri-negeri yang jauh. Dari duapuluh delapan buah-buahan itu tidak akan semua ia rasakan mengingat ada satu jenis buah yang baru saya lihat penampakannya. Di poster itu buah itu bernama “pea” dengan nama asing ditulis “pheaches”. Buah ini berbentuk mirip pear dengan warna kemerahan dan memiliki biji samar-samar menyerupai kurma kering di tengahnya. Sudah pasti saya tidak tahu seperti apa rasa buah itu seperti sama pastinya saya tidak tahu dari mana asal buah itu ditanam dan tumbuh. Suatu kali ketika di Youtube banyak chanel berisi seseorang yang duduk di belakang piring berisi makanan berminyak, sayur lalapan, dan hewan-hewan laut, yang memamerkan bunyi-bunyian saat semua itu dikunyah, saya malah tertarik kepada pengalaman orang-orang Korea ketika kali pertama merasakan sensasi buah nangka atau jeruk bali atau durian atau pepaya dan rambutan. Raut wajah mereka bisa seketika berubah kaget seolah-olah buah yang mereka makan berasal dari negeri yang tidak mereka ketahui asal usulnya. Rasa buah-buah ini tidak tumbuh di tanah mereka dan baru merasakannya ketika beraneka jenis buah sudah malang melintang melintasi benua-benua. Pengalaman merasakan pertama kalinya buah-buah yang dianggap aneh itu, sama sensasionalnya ketika lidah orang-orang Eropa merasakan makanan nusantara yang dibumbui dari rempah-rempah khas nusantara beberapa abad lalu. Dari sensasi makanan inilah orang-orang Eropa menemukan pengalaman yang tidak mereka temui di negeri asalnya, suatu kehidupan “surgawi” yang kelak menjadi cikal bakal kolonialisme. Pisang merupakan buah yang tidak disukai Banu, sedangkan betapa bersemangatnya ia ketika diberikan semangka. Sebelum musim penghujan datang meninggalkan genanngan di mana-mana, hampir sering kami menyimpan semangka di mesin pendingin. Ini sewaktu-waktu dibutuhkan jika Banu menginginkannya dan mulai memakannya hingga ke kulit-kulitnya. Giginya yang berjumlah delapan membuat pekerjaan menggigit adalah tindakan lain yang ia sukai selain menyusu menggunakan otot lidahnya. Di usianya sekarang, Banu sering menyusu dengan memaksa ibunya memperlihatkan gambar-gambar dari buku yang ia sukai. Jadi setiap ingin menyusu, ia sudah siap sambil memegang buku cerita sebagai tanda kebiasaan barunya. Galibnya, kebiasaan baru ini bakal membuatnya lelap tertidur jika dua matanya mulai lelah melihat-lihat bermacam-macam gambar. Saya tidak tahu apakah gaya menyusu itu sama sensasionalnya seperti ketika orang-orang Eropa merasa kaget pertama kali dengan rasa durian.