Mainan Banu semakin beragam setelah
ibunya membelikannya dua set maneken hewan-hewan. Jadi, selain Banu sering
meminta ”dibacakan” buku-buku ”pilihannya”, sekarang saya menjadi teman
bermainnya paling setia untuk menghidupkan karakter maneken hewan itu, yang
seringkali dimintanya dengan mengacung-acungkan ”zarafah” atau ”kuda”.
”Kkhwauu”, saya mengaum membuat
suara maneken ”harimau” atau ”singa”, yang kadang membuat saya sulit meniru
jenis suara yang berbeda dari kedua
hewan itu. Di alam bebas Anda mungkin mampu membedakan mana suara harimau mana
suara singa, tapi setiap menirukan suara harimau atau singa, sepertinya saya
mendengar suara yang sama keluar dari mulut saya.
Tapi, walaupun begitu, tidak
diduga-duga nampaknya saya justru malah menciptakan ”anak singa” oleh karena
sekarang Banu menjadi suka mengaum setiap kali selesai dimandikan. Untung saja
suara kambing tidak begitu menarik minatnya tidak sama seperti ia seringkali berkata
”moo” dengan koor panjang untuk menunjuk sapi, hewan pertama yang ia suka tiru
bunyinya.
Banu dan mainan binatangnya |
Patung-patung hewan mini ini ada manfaatnya bagi pertumbuhan imajinasi anak saya, setelah ia sering diperlihatkan macam-macam buah-buahan melalui poster yang saya tempel di dinding kamar. Setidaknya secara ril ia bisa melihat bentuk langsung hewan-hewan daripada sekadar melihat gambar dua dimensi hanya melalui di atas kertas.
”Untuk alat tes.” Ungkap Lola, setelah
saya menanyakan mengapa ia membeli mainan aneka hewan empat pasang sekaligus.
”Ini satu untuk Banu, ini satu
untuk sekolah.”
Kami berkeliling setelahnya untuk
mencari seperangkat mainan yang terdiri dari beraneka jenis ukuran balok-balok
warna warni.
”Itu untuk Banu atau sekolah?”
”Untuk sekolah” jawab Lola tanpa
harus menoleh.
Sejak itu saya sering dibuat
bingung jika Lola berencana membeli seperangkat mainan. Lebih bingung lagi saat
ia berkelilling menengok etalase dari bawah ke atas, dari kanan ke kiri mencari
boneka khusus yang pakaiannya mampu ditanggalkan seperti seorang manusia yang
bertelanjang dada.
”Untuk pendidikan seks dini.”
”Saya kira untuk Banu.”
Semakin ke sini saya mulai
merasakan perkembangan ego anak saya. Banu sudah tidak gampang dibujuk seperti
sebelumnya. Ia sekarang mudah rewel jika ada permintaannya yang tidak begitu
saja dipenuhi. Sebagai contoh, Banu memiliki kebiasaan baru ketika menetek
bersama ibunya hanya dengan cara sambil ”dibacakan” buku. Tanda kutip itu
menandai bahwa sebenarnya Banu saya duga senang jika ia diperdengarkan cerita
dari gambar-gambar yang suka ia lihat di bukunya.
Sekarang setelah dia diberikan maneken
hewan-hewan dari sebagian hutan Afrika, saya sesekali mesti berperan seperti
Tarzan memanggil seluruh hewan itu berdiri di hadapan Banu. Zarafah, rusa,
singa, keledai, kuda, kambing, sapi, kerbau, domba dan serigala, sekarang sudah
berdiri sigap sama seperti dalam adegan raja Simba yang berdiri di atas bukit
memanggil seluruh rakyat kerajaan hewannya.
Suara kambing dan sapi suara paling
gampang saya tiru, tidak sama seperti suara auman harimau atau singa, apalagi
membuat suara keledai dan zarafah. Pelajaran biologi waktu sekolah tidak pernah
sama sekali mengajarkan kami bagaimana bunyi hewan tertinggi di dunia ini
selain daripada ia kerap dijadikan contoh bagaimana hewan-hewan masa lalu
berevolusi seperti dijelaskan dalam teori evolusi Darwin.
Konon dulu zarafah hewan berleher
pendek dan berevolusi memiliki leher dan kaki-kaki yang tingi karena persediaan
makanan tersisa hanya dapat dicapai di pucuk-pucuk pepohonan tinggi. Kuda tetap berleher pendek tidak seperti
zarafah, yang selalu mendongakkan lehernya ke ujung tangkai-tangkai pohon.
Seandainya kuda melakukan hal yang sama, sekarang ada dua hewan yang berleher
panjang dan berkaki-kaki tinggi.
Saya menduga selain penyabar,
zarafah hewan pendiam daripada kuda. Sampai sekarang saya tidak pernah
mendengar bagaimana model suaranya.