Senin, 01 Maret 2021

Banu dan Kuda Tunggangannya

Menjadi ayah yang baik untuk Banu adalah sebuah tantangan tersendiri, terlebih setelah saya diberikan tugas baru olehnya di waktu belakangan ini.  

 

Sudah hampir sebulan nyaris setiap malam saya harus berubah menjadi kuda tunggangannya. Di atas tempat tidur jika Isya mulai ditinggalkan, ia mulai meminta bermain kuda-kudaan. Saat ini ia seolah-olah akan menjadi Don Quixote de la Mancha ala Chervantes, yang hendak mengembara menumpas kejahatan entah ke negeri-negeri jauh.  

 

Bantal-bantal ia sisihkan mengubah ranjang seperti padang sabana di daratan Eropa. Tentu ini bukan bayangan imajinasinya, melainkan gambaran saya sendiri yang membuatnya seperti itu. Untuk mendalami peran saja maksud saya. 

 

Tidak lama ia akan memanjat naik pinggang ramping ini, dengan usaha yang agak dipaksakan karena sengaja saya sering membuat pelana menjadi lebih tinggi. Beberapa kali ia mencoba ia kerap gagal naik. 

 

”Kalau tidak berhasil naik, kudanya lari, nak.” Si kuda mengingatkan. 

 

”Jangan Abi, jangan!” Sang Ksatria menolak. 

 

Kalau ia sudah berkeringat, barulah saya menurunkan lekuk punggung kuda. Membuatnya dengan tenaga terakhir berhasil naik. 

 

”Ayo!” Perintahnya. Seakan-akan ia akan mulai melakukan perjalan panjang, dan itu misi penting. 

 

Maka, demikianlah. Si Kuda dan sang Ksatria mulai melakukan tugas maha dahsyatnya. Mengelana menyusuri lereng-lereng gunung di siang hari. Turun ke sungai dan masuk ke dalam hutan pada malam harinya. Melawan kabut dingin yang menusuk. 

 

Semuanya dilakukan bersama-sama berkeliling di atas kasur, dan si Kuda mesti beberapa kali mengeluarkan suara khas kuda. 

 

”Brruur!” 

 

”Turun, Abi!” Perintah sang Ksatria.

 

Dan inilah tantangan lainnya, yang berarti si kuda mesti keluar dari hutan, yang sebenarnya adalah pergi menjauhi ranjang, menuju kawasan baru membuat langkah (lutut) kuda jadi sakit-sakitan.  

 

Kawasan baru ini bukanlah hutan sebenarnya, tapi lantai tegel di ruang sebelah. 

 

Lantai tegel bukan kasur beralas kapuk yang empuk jika Anda menjadi seekor kuda. Maka, bisa dibayangkan bagaimana kuda menahan nyeri persendian menahan ksatria di atasnya, yang sudah mencapai 12 kg. 

 

”Brrerre...” Si Kuda kelelahan, dan membuatnya berinisiatif istirahat. 

 

”Kuda haus, nak!” 

 

”Minum.” Sang Ksatria dengan gagahnya menyodorkan tangannya seperti sedang memegang kendi air. 

 

”Syrup... Sryp..”

 

”Ayo!” Perintah kembali sang Ksatria.

 

Perjalanan diputuskan dilanjutkan sesuai petunjuk sang Ksatria. Lama mereka berkeliling masuk kembali ke dalam hutan, melewati lembah dan naik ke atas bukit, sampai akhirnya si Kuda merasakan punggungnya basah.

 

”Sepertinya, kencingki di atas kuda, nak?”

 

Sang Ksatria santai berseloroh: ”Ayo!!!”