Menjadi ayah yang baik untuk Banu adalah sebuah tantangan tersendiri, terlebih setelah saya diberikan tugas baru olehnya di waktu belakangan ini.
Sudah hampir sebulan nyaris setiap malam saya harus berubah
menjadi kuda tunggangannya. Di atas tempat tidur jika Isya mulai ditinggalkan,
ia mulai meminta bermain kuda-kudaan. Saat ini ia seolah-olah akan menjadi Don
Quixote de la Mancha ala Chervantes, yang hendak mengembara menumpas kejahatan
entah ke negeri-negeri jauh.
Bantal-bantal ia sisihkan mengubah ranjang seperti padang
sabana di daratan Eropa. Tentu ini bukan bayangan imajinasinya, melainkan gambaran
saya sendiri yang membuatnya seperti itu. Untuk mendalami peran saja maksud
saya.
Tidak lama ia akan memanjat naik pinggang ramping ini,
dengan usaha yang agak dipaksakan karena sengaja saya sering membuat pelana
menjadi lebih tinggi. Beberapa kali ia mencoba ia kerap gagal naik.
”Kalau tidak berhasil naik, kudanya lari, nak.” Si kuda
mengingatkan.
”Jangan Abi, jangan!” Sang Ksatria menolak.
Kalau ia sudah berkeringat, barulah saya menurunkan lekuk
punggung kuda. Membuatnya dengan tenaga terakhir berhasil naik.
”Ayo!” Perintahnya. Seakan-akan ia akan mulai melakukan
perjalan panjang, dan itu misi penting.
Maka, demikianlah. Si Kuda dan sang Ksatria mulai melakukan
tugas maha dahsyatnya. Mengelana menyusuri lereng-lereng gunung di siang hari. Turun ke
sungai dan masuk ke dalam hutan pada malam harinya. Melawan kabut dingin yang menusuk.
Semuanya dilakukan bersama-sama berkeliling di atas kasur, dan si Kuda mesti beberapa
kali mengeluarkan suara khas kuda.
”Brruur!”
”Turun, Abi!” Perintah sang Ksatria.
Dan inilah tantangan lainnya, yang berarti si kuda mesti
keluar dari hutan, yang sebenarnya adalah pergi menjauhi ranjang, menuju kawasan baru membuat
langkah (lutut) kuda jadi sakit-sakitan.
Kawasan baru ini bukanlah hutan sebenarnya, tapi lantai tegel di ruang sebelah.
Lantai tegel bukan kasur beralas kapuk yang empuk jika
Anda menjadi seekor kuda. Maka, bisa dibayangkan bagaimana kuda menahan nyeri
persendian menahan ksatria di atasnya, yang sudah mencapai 12 kg.
”Brrerre...” Si Kuda kelelahan, dan membuatnya berinisiatif
istirahat.
”Kuda haus, nak!”
”Minum.” Sang Ksatria dengan gagahnya menyodorkan tangannya
seperti sedang memegang kendi air.
”Syrup... Sryp..”
”Ayo!” Perintah kembali sang Ksatria.
Perjalanan diputuskan dilanjutkan sesuai petunjuk sang Ksatria.
Lama mereka berkeliling masuk kembali ke dalam hutan, melewati lembah dan naik
ke atas bukit, sampai akhirnya si Kuda merasakan punggungnya basah.
”Sepertinya, kencingki di atas kuda, nak?”
Sang Ksatria santai berseloroh: ”Ayo!!!”