Minggu, 28 Oktober 2018

Suara Banu



BANU baru saja tidur. Ia pulas setelah lama menangis. Sebagai seorang laki-laki, ia memiliki suara tangisan yang lumayan nyaring. Bahkan, ketika kali pertama kami mendengar suara tangisannya, ia bahkan mengalahkan suara tangisan bayi-bayi yang sekamar dengannya. Berkat ini Banu gampang dikenali ketika ia masih di rumah sakit.

Di hati kecil saya, suara nyaring Banu membuat saya merasa bangga. Biar bagaimanapun seorang laki-laki mesti memiliki volume suara yang besar. Ini modal bagi seorang laki-laki jika ia ingin menjadi pemimpin.

Entah bagaimana kaitannya, tapi saya berfirasat, suara yang nyaring berhubungan dengan keberanian. Barangkali akan aneh bagi seseorang pemberani jika memiliki suara yang kecil. Atau sebaliknya, suara lumayan nyaring tapi tidak pemberani. Dua-duanya penting. Dia kualitas seorang laki-laki.

Ada kepercayaan harapan seorang ayah kepada anaknya karena didorong oleh kualitas tertentu yang tidak dimiliki seorang ayah. Setiap orang tua ingin anaknya menjadi sesuatu yang tidak pernah dicapainya. Atau mengharapkan kualifikasi yang tidak dimiliki sang orang tuannya. Itulah mengapa setiap anak ibarat perpanjangan tangan sang orang tua. Ia menjadi perealisasi pencapaian-pencapaian yang belum dimiliki orang tuanya.

Saya bukanlah orang pemberani. Malah seringkali menjadi orang yang paling telat mengumpulkan keberanian.

Karena itulah, salah satu harapan saya Banu menjadi anak pemberani. Anak yang bisa mempertahankan pendiriannya. Anak yang memiliki bekal pikiran dan perasaan ketika menghadapi situasi genting. Menjadi anak yang bertanggung jawab terhadap pilihan pribadinya.

Singkatnya Banu kelak menjadi pribadi yang berinisiatif. Bergerak dengan kehendak dan kemauannya saat orang-orang di sekitarnya malah diam acuh tak acuh.

Kiwari, saya kira, masyarakat mengalami defisit orang-orang yang memiliki inisiatif. Seolah-olah keadaan akan membaik tanpa ada usaha. Seolah-olah nasib yang baik dibiarkan begitu saja berjalan semaunya entah oleh siapa dan untuk siapa.

Itu namanya fatalis.

Kamis, 18 Oktober 2018

Banu diimunisasi


16 Oktober kemarin Banu genap berusia 2 bulan. Sehari sebelumnya, di 15 Oktober hari jadi pernikahan saya dan Lola. Itu berarti usia pernikahan kami sudah genap dua tahun. Masih seumuran jagung memang. Jagung muda malah.

Kembali ke Banu anak saya. Seperti bayi umumnya, di usia 2 bulan berarti sudah layak dan mesti diimunisasi. Tadi pagi setelah direncanakan dari semalam, Banu akhirnya disuntik obat imun DPT dan polio.

Banu diimunisasi oleh petugas kesehatan yang datang langsung ke rumah. Sejak diimunisasi pertama kali, petugas kesehatan yang dimaksud cukup dihubungi via telepon saja. Setelah diiyakan sang petugas bisa datang langsung ke rumah. Cukup fleksibel daripada harus pergi ke puskesmas atau sejenisnya.

Saat menulis ini Banu sedang tertidur. Sejak dari siang dia rewel dan tidak berhenti menangis. Mungkin dia merasa perih di bekas suntikannya. Di pahanya tertera setitik hitam bekas suntikan. Banu malah lebih menangis jika kain kompres mengena pahanya.

Umumnya ketika bayi diberikan DPT akan mengalami demam. Banu juga sudah mulai mengalami demam. Panas tubuhnya pelan-pelan meningkat. Untuk meminimalisirnya dari tadi saya sudah memberikan kompresan tempelan di keningnya. Agak lucu melihat tempelannya tidak melekat keseluruhan karena dahi Banu yang lumayan “dontu”.

Intinya sekarang Banu sedang beradaptasi dengan zat yang masuk di dalam tubuhnya. Sistem imunnya sedang bekerja. Semoga besok panas tubuhnya kembali normal.

Minggu, 14 Oktober 2018

Banu di Fase Oral


SAYA baru ngeh pagi ini. Sudah hampir seminggu kuku jari Banu belum saya potong. Kukunya lebih cepat tumbuh dari pada rambutnya. Apalagi kukunya nampak sudah seperti main tanah. Ada beberapa nampak kecokelatan di sela-sela kukunya.

Sempat terjadi perbincangan menjurus perdebatan dengan Lola mengenai apakah Banu mesti menggunakan sarung tangan atau tidak. Seingat saya, Banu memakai sarung tangan hanya di minggu-minggu awal. Selebihnya saya membiarkan tangan Banu tanpa sarung tangan.

Tanpa sarung tangan jari-jari dan telapak tangan Banu akan lebih cepat belajar merasakan apa pun yang disentuhnya. Sistem saraf perabanya akan cepat berkembang. Semakin ia peka akan mudah bagi dirinya dapat memegang sesuatu dengan baik.

Tapi, tanpa sarung tangan kalau menggerakkan tangannya Banu berisiko melukai wajahnya. Apalagi jika kukunya lebih panjang. Pernah suatu waktu kulit wajahnya tergores panjang berwarna merah. Ia tanpa sengaja mencakar dengan sendirinya. Entah kapan ia melakukannya.

Saya malah berkeyakinan wajahnya yang tergores bakal sembuh dengan sendirinya. Dengan sendirinya, kulit mukanya akan beregenerasi memperbaiki sel-selnya. Lagian, ini pengalaman bagi kulit Banu untuk diuji daya tahannya.

Satu hal yang membuat hati saya merana ketika pernah salah memotong kuku jempol tangannya. Tanpa sengaja ujung jarinya yang jadi korban. Seketika Banu menangis terbangun. Ujung ibu jarinya memerah. Gumpalan darah seketika terbentuk.

Beruntung keteledoran itu tidak sampai menyobek kulit jarinya. Saya hanya mengisap ibu jarinya. Melekatkan cedera ibu jarinya ke dalam langit-langit mulut saya.

Tidak sampai sepekan kulit ibu jarinya mengering.

Tapi, sampai sekarang saya masih belum juga memotong kuku Banu yang sudah seperti tajamnya kuku kucing.

***

INFORMASI dari seorang ibu di fb mengatakan kalau kuku bayi dipotong dua kali seminggu. Pengetahuan ini nampak sepele tapi cukup bermanfaat bagi saya. Artinya setiap waktu kami harus lebih memerahatikan perkembangan Banu di setiap saat. Masalah kuku sekalipun.

Belakangan Banu memiliki kebiasaan baru. Ia dalam keadaan tertentu seringkali memasukkan jemari tangan ke mulutnya. Dalam keadaan kenyang juga demikian. Karena itu kami terkadang mesti menerka dengan benar, apakah Banu masih ingin menetek atau belum. 

Ya, salah satu tanda bayi dalam keadaan lapar selain menangis adalah ketika ia nampak mengisap-isap sendiri jari tangannya.

Para psikolog mendakukan, kebiasaan bayi memasukkan tangan atau benda-benda ke dalam mulutnya disebut fase oral. Sigmund Freud, seorang ahli psikoanalisa, bahkan memiliki penjelasan ilmiah berkenaan dengan salah satu perkembangan kepribadian ini.

Freud membagi perkembangan kejiwaan manusia di masa kanak-kanak menjadi 5 fase. Pertama adalaf fase oral yang ditandai dengan kecenderungan bayi menemukan kesenangan di sekitar mulutnya. Itulah sebabnya, di usia 0-18 bulan seorang bayi sering kali memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya. Tangannya sekalipun.

Fase anal adalah fase kedua setelah seorang bayi melewati tahap oralnya. Di fase ini sang bayi akan lebih nyaman berlama-lama memerhatikan area analnya ketika ia BAB. Lancar tidaknya ia BAB merupakan bagian kenikmatan ketika di fase ini. Fase ini sering terjadi ketika anak-anak memasuki usia sekitar 2 sampai 3 tahun.

Di usia 3 sampai 5 tahun sang anak sudah mulai mencoba mengenal dirinya dari kelaminnya.  Pada fase ini ia akan mulai mengetahui bahwa jenis kelamin memiliki perbedaan sikap dari lawan jenisnya. Di fase ini, jika sang anak berkelamin laki-laki, ia sudah memulai meniru perbuatan ayahnya karena jenis kelamin yang sama.

Fase-fase setelahnya adalah fase Latent yang terjadi di usia 6 sampai 12 tahun, dan tahap genital di masa 12 tahun ke atas. Dua tahap ini ditandai dengan aktivitas pencarian prestasi dan pengukuhan sikap-sikap yang sudah dipelajari sang anak di dalam lingkungannya. Di fase genital, fase terakhir, sang anak sudah memiliki kecenderungan menyukai lawan jenisnya.

Banu saya duga sedang memasuki tahap oralnya. Di usianya sekarang, dia sudah mulai merasakan kenikmatan melalui mempermainkan mulutnya. Saya berkesimpulan, baik tidaknya, nyaman tidaknya, puas tidaknya cara dia menetek, juga merupakan bagian dari fase ini.

Kegagalan ketika di fase oral tidak terpenuhi dengan baik menurut para ahli jiwa akan berdampak kepada gagalnya sang anak ketika memfungsikan mulutnya di saat pertama kali belajar berbicara dan makan.

Kemarin setelah lama direncanakan akhirnya Banu memiliki gunting kuku khusus. Untuk menghindari kesalahan yang sama, saya ogah menggunakan gunting kuku yang besarnya bukan main itu.

Kamis, 11 Oktober 2018

Banu menjadi Lebih Berat


Semenjak Banu dilahirkan dan keluar dari rumah sakit di tanggal 19 Agustus kemarin, ia sama sekali belum diperiksa dokter anak sama sekali. Satu-satunya kesempatan yang dimiliki Banu bertemu dokter anak, ya di saat hari kedua ia lahir.

Itu pun saat itu sang dokter hanya menanyakan perkembangan BAB-nya. Apakah Banu sudah mengeluarkan kotorannya atau belum? Berapa kali dalam sehari ia BAB? Bagaimana ASI-nya, sudah menetek atau belum?

Perlu diketahui bagi calon orang tua muda, fase ini sangat penting diketahui karena berkaitan langsung dengan sistem pencernaan si buah hati.

Saya baru tahu setelah dilahirkan untuk ukuran normal sang bayi mesti mengeluarkan ee-nya yang khas berwarna hijau kehitaman. Dalam banyak kasus wujud ee ini mirip kekentalan pasta gigi di hari-hari pertama hingga hari ketiga. Jika selama tiga hari hal ini tidak terjadi, bisa dipastikan ada yang salah dari sistem pencernaan bayi.

Beruntung Banu dari hari pertamanya sudah BAB. Bahkan dalam sehari, kami harus mengganti loyornya berkali-kali. Istri saya bahkan sempat bercerita pengalaman anak temannya yang sampai harus dioperasi karena sampai melewati tiga hari bayinya belum mampu BAB.

Setelah dinyatakan sudah bisa meninggalkan rumah sakit, praktis Banu kami simpulkan dalam keadaan sehat. Banu kami lihat seperti bayi-bayi umumnya; menangis, tidur, ee, menangis,  tidur, ee, menangis, tidur, ee…

Banu memiliki suara tangisan yang lumayan keras. Ketika di kamar perawatan, dari empat bayi saat itu, dialah yang memiliki suaran tangisan paling nyaring.

Kata suster-suster tangisan bayi baik untuk perkembangan jantung. Sejak saat itu, ketika Banu menangis, kami tidak terlalu khawatir mengenai keadaannya.

Satu-satunya yang paling kami khawatirkan di hari pertama Banu adalah asupan ASI-nya. Sejak hari pertama payudara Lola belum mengeluarkan ASI. Sampai hari ketiga juga demikan.

Kami khawatir mengenai keadaan Banu, apakah ia lapar atau tidak? Apakah setiap ia menangis berarti ingin menyusu atau tidak? Apakah ia bisa bertahan tanpa ASI atau tidak?

Selidik punya selidik setelah ditanyakan kepada suster penjaga, bayi yang baru lahir masih memiliki lambung sebesar biji kelereng. Tidak usah khawatir si bayi bakalan kelaparan. Sistem tubuhnya mampu bertahan hingga seminggu sekalipun tanpa asupan ASI.

Usaha untuk mengadakan ASI tetap kami upayakan, disamping dengan terpaksa Banu sementara harus diberikan susu formula. Saya sedih melihat Banu diberikan susu formula.

ASI diawal-awal pasca kelahiran sangat dibutuhkan Banu. Kandungan sufor yang dimiliki ASI pertama sangat penting bagi perkembangan Banu. Saran untuk mengonsumsi daun katuk tidak bisa kami upayakan. Akhirnya hanya pil hasil eksraksinya saja yang dikonsumsi Lola.

Baru hari ketiga ASI Lola mulai keluar. Itupun setelah dilakukan pijatan yang awalnya membuat payudaranya sakit.

Setiap bayi saya yakin memiliki pengetahuan alamiah tentang cara dia mengisap ASI. Di antara mulut dan puting ibunya terdapat hubungan yang sangat dekat dan intim. Kedekatannya saya duga lebih dekat dari jaringan ikatan pusar saat ia masih di dalam rahim.

Itulah sebabnya, ketika sang bayi pertama kali dipertemukan dengan sumber ASI-nya, ia langsung bereaksi berdasarkan pengetahuan alamiahnya.

Banu saya yakin langsung bereaksi ketika pertama kali bibirnya menyentuh area sumber ASI-nya. Untuk beberapa bayi seringkali membutuhkan beberapa kali percobaan dan penyesuaian. Tapi tetap saja ia bakalan terkoneksi dengan pengetahuan alamiahnya ketika merespon sumber ASI di mulutnya.

Banu setelah beberapa kali didekatkan kepada sumber asinya langsung bereaksi. Lidahnya pandai ia gerakkan. Di hari kempat ia sudah mampu menyusu dari ibunya. 

(Oh iya, pengalaman menyusu setiap bayi berbeda-beda. Jangan khawatir kalau dedek bayinya belum mampu menyusui. Begitu pula ketersediaan ASI ibunya. Setiap ibu pasti dianugerahi ketersediaan ASI setiap selesai melahirkan!)

Di sekitar minggu kedua dan ketiga Lola terserang mastitis. Ini karena hampir setengan malam ia tidak menyusui. Tubuhnya menggigil dan setelah itu terserang demam. Payudaranya membengkak dan terasa panas. Setelah diperiksakan ia hanya diberikan obat penurun demam dan pereda rasa nyeri. Dokter berpesan agar segera memijit payudaranya yang bengkak.

Semenjak itu Lola jauh lebih rajin memerah ASI-nya dan menyimpannya di kulkas. Ketika itu pula ia rajin mengobati sendiri payudaranya. Mengompres dan memijatnya setiap dua atau tiga jam sekali.

Tapi, obat mastitis yang sebenarnya adalah si bayi itu sendiri. Pembengkakan penyumbatan saluran ASI hanya bisa teratasi jika si ibu tetap menyusui bayinya. Sedotan bayi jauh lebih ampuh dibandingkan alat perah ASI mana pun. Sedotan bayi yang kuat inilah yang bakal sedikit demi sedikit memperlancar sumbatan aliran ASI.

Di waktu-waktu ini pula saya menyaksikan betapa kuatnya Lola menahan rasa sakit ketika menyusui Banu. Sering kali matanya seketika memeram sampai harus membungkukkan badannya menahan perih putingnya. Di saat ini, saya semakin tersadar betapa besarnya kekuatan dan pengorbanan seorang ibu bagi anaknya.

“Semua untuk Banu.” Begitu sering ia katakan.

Tidak bisa dibayangkan ia rela menukar kesakitan demi kasih sayangnya untuk buah hatinya.

“Banu adalah obat”. Begitu saya sering katakan kepadanya.

Kurang sepekan lagi Banu berusia dua bulan. Selama ini kami belum tahu berapa berat badan Banu setelah dilahirkan. Seperti saya utarakan di awal tadi, belum pernah sekalipun Banu kami periksakan ke dokter.

Sampai baru pagi hari ini kakak ipar Ima, saudara saya, yang kebetulan bekerja di puskesmas singgah ke rumah membawa timbangan bayi. Banu kami timbang. Berat badannya naik 2,5 kg.

Itu berarti menjelang dua bulan Banu memiliki berat badan 5,3 kg.

Bagaimana dengan panjang tubuhnya?

Baru sore ini saya berinisiatif mengambil tali rafiah, mengukur Banu di saat ia tertidur. Saya bergegas ke gudang tempat bapak menyimpan alat-alat pertukangannya. Saya cocokkan panjang tali rafiah dengan panjang meteran. Panjang tubuhnya bertambah 12 cm dari 47 cm menjadi 59 cm.

Sekarang saya tahu alasan di balik baju-bajunya yang mulai kekecilan.

Rabu, 10 Oktober 2018

1 Bulan Pengalaman Bersama Banu


KEMARIN iseng-iseng membuka akun instagram istri saya. Saya tidak menyangka bakal menemukan tulisannya tentang Banu seperti saya sertakan di bawah ini. Saya sertakan dengan beberapa perbaikan dan penyesuaian ketikan.

***

Alhamdulillah sebulan yang membahagiakan. Terima kasih untuk rasa ini nak. 
______________
1 bulan berlalu mama & abi banyak belajar dari Banu. Alhamdulillah capeknya, sakitnya, lelahnya, semuanya membahagiakan. Jadi kalau ditanya adakah lelah dan sakit yang membahagiakan? Jawabannya ada; mengasuh anak dengan tangan sendiri.
——————
 #edisisharingmamaDescription: πŸ™ˆ

Sampai hari ketiga asi mamaknya belum ada. Anaknya sudah rewel dari pagi sampai malam rumah ramai dengan suara tangisannya. Semua cara diusahakan, dari vitamin, pijat, pompa asi, makanan, semua dicoba agar anaknya bisa segera minum asi karena mamaknya ndak rela kalau diusianya Banu harus minum sufor. Alhamdulillah hari keempat tantangan ini berhasil dilalui dengan sempurnaDescription: πŸ‘πŸ»Description:
_______________
 Selama sebulan ini, mama & abi jad disorientasi waktu. Malam jadi siang, siang jadi malam. Minggu ke-2 & 3 tiap malam kami menemaninya &  bergantian menggendongnya dari jam 11 malam sampai jam 3/4 subuh. Setelah itu barulah bayinya tidur dengan nyenyaknya. Kalau nangisnya sudah klimaksnya, pernah sekali mamaknya lepas kontrol sampai ngomel2 Description: πŸ™ˆ Terus ndak lama mamaknya yang nangis2 merasa bersalah, minta maaf terus cium2, peluk2 bayiknya Description: 😁.
____________
Menghitung hari menjelang 1 bulan mamaknya demam menggigil sampai terkena mastitis (apa itu? coba search ya 🀣) semua usaha dilakukan ndak peduli walau harus nahan sakit, intinya harus lekas sehat. Lecet, luka, bengkak, ndak masalah intinya tidak ingin menyerah untuk memberi asi. Alhamdulillah kondisi mulai lebih baik dan semua yang dituliskan tinggallah cerita Description: 😁.
____________
Sekian curhatnya. Mohon dimaklumi karena mamak millenial jadinya dikit lebay Description: 😁Description: πŸ™ˆ.
 _______________

Semangat meng-asi-hi Description: 😍Description: πŸ’ͺ🏻 jgn pernah menyerah memberi nutrisi terbaik untuk buah hati kita Description: 😊.
__________
#diarybabybanu #babyonemonth #1monthold #mamaklife #supportasieksklusif #pejuangasip #sharingtime

Minggu, 07 Oktober 2018

Kalila wa Dimnah


AWALNYA adalah nama Kalila wa Dimnah. Justru setelahnya keputusan ini mendapatkan pertentangan dari Lola, istri saya. Terdengar feminin, katanya.

Ya, sebelumnya, setelah dipikir-pikir Kalila wa Dimnah rencananya akan dijadikan nama anak laki-laki pertama saya. Nama ini diambil dari cerita fabel masyhur yang memiliki sejarah panjang.

Kalilah dan Dimnah adalah karakter yang  menjadi nama bagi seekor Serigala dan  Singa dalam cerita yang menggunakan binatang sebagai tokoh-tokohnya. 

Dalam ceritanya Kalilah wa Dimnah adalah karangan sastra yang berisi pengetahuan tentang karakter, nasihat-nasihat, pesan moral, dan keagungan kebaikan yang mewakili sifat-sifat dasar manusia berkaitan dengan bagaimana ia berinteraksi dengan sesamanya.

Fabel ini dikarang ahli hikma, Baidaba, seorang filosof India yang hidup lebih dari dua puluh abad lalu. Seperti dituliskan versi penerbitan Balai Pustaka Djakarta 1959, hikayat ini diasalkan dari keresahan Baidaba terhadap perilaku kepemimpinan raja yang menguasai hindustan saat itu. 

Kalila wa Dimnah nyatanya adalah karangan yang memiliki gaya penceritaan dengan nuansa kritik. Dengan menggunakan binatang-binatang Baidaba memanfaatkan karakter seperti itu untuk mengingatkan tentang sifat-sikap manusia yang bisa saja berubah lantaran lebih mengutamakan kepentingan sesaat. 

Dengan kata lain, dalam konteks kehidupan Baidaba, karangan ini ditujukan kepada seorang raja bernama Djabsalim berkaitan dengan kepemimpinannya yang tidak adil. 

Kenapa binatang? Karena menurut keyakinan agama Brahmana, binatang asal mulanya juga adalah manusia. Banyak sifat-sifat manusia dapat ditemukan dan dibandingkan di dalam sifat-sifat binatang. Begitu kira-kira.

Kalila Wa Dimnah bukan sekadar hikayat tunggal. Penceritaannya bercabang-cabang membentuk aliran penceritaan baru di setiap ceritanya. Semuanya terdiri dari dua belas bab dengan karakter penokohan dari semisal Singa, serigala, barung hantu, gagak, kera, kura-kura, tikus, kucing, maupun kakaktua.

Mula-mula Kalilah wa Dimnah ditulis dengan bahasa sansekterta. Menurut terbitan Balai Pustaka, diterangkan bahasa Tibet adalah bahasa pertama yang menerjemahkan hikayat ini.

Setelah berabad-abad lamanya, abad ke-6 M timbul inisiatif Kisra Anu Sjirwan seorang raja dari Persia yang menyukai ilmu pengetahuan untuk mencari karangan ini dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Parsi.

Ibnu Al-Muqoffa, sastrawan muslim asal Arab, kemudian menterjemahkannya ke dalam bahasa Arab tanpa mengubah makna yang terkandung di dalam karya aslinya. Ibnu Al-Muqoffa juga seorang juru tulis Abu Dja’far Mansur, seorang khalifah dari Bani Abbasyiah.

Kalilah wa Dimnah telah diterjemahakan lebih dari sepuluh bahasa termasuk bahasa Indonesia yang dikerjakan Balai Pustaka dari terjemahan bahasa Arabnya.

***

WALAUPUN dalam hikayat merupakan nama karakter binatang, Kalila berarti orang yang dicintai dalam bahasa Arab. Ini setidaknya kedengaran lebih masuk akal jika dibandingkan dari maknanya ketika dihubungkan dengan figur ceritanya.  

Tapi di balik keinginan menamainya Kalila, saya ingin nama anak saya memiliki hubungan tertentu dengan dunia sastra. Memang ada unsur ketidaksengajaan ketika berusaha mencari nama calon anak saya. 

Hasil pencarian saat itu entah mengapa kecantol dengan nama ini. Selain bunyi namanya saya suka karena bayak huruf vokal, ternyata nama ini merupakan nama karangan sastra masyhur seperti saya ceritakan di atas.

Semenjak itu saya membatin untuk fix menamai anak saya Kalila wa Dimnah. Terlebih lagi ada alasan kuat yang mengemuka saat itu, yakni dengan menamainya demikian, kelak dewasa anak saya suatu waktu bisa mengerti dan  mengetahui namanya adalah judul karangan sastra yang sarat makna dan ajaran. 

Melalui cara itu mungkin ia dapat belajar dari namanya sendiri. Dengan kisah-kisah di dalamnya.

Tapi, seperti saya katakan di awal, keinginan ini tidak diindahkan istri saya. Ia ingin mengubah Kalila menjadi Kalil agar lebih cocok dengan jenis kelamin anak kami.

Hingga akhirnya tidak ada alasan yang dapat diterima. Masing-masing bersikukuh. Dan nyatanya nama ini hanya sekadar menjadi usulan belaka.

Sabtu, 06 Oktober 2018

Pasca Kehamilan Ektopik, Anak ini Bernama: Banu Tabrizi El Baqir


BANU adalah anugerah. Bahkan sebuah keajaiban. Dalam istilah medis, anak saya ini diistilahkan sebagai HSVB (High Social Value Baby) atau anak mahal. Anak mahal adalah keadaan kandungan bayi bagi ibu hamil yang memiliki riwayat keguguran berkali-kali.

Dalam kasus Lola istri saya, ia sempat mengalami tiga kali keguguran. Apalagi keguguran yang ketiga ia mesti menjalani operasi akibat kehamilan ektopik. Risiko terakhir ini membuat istri saya mesti kehilangan tuba falopinya yang sebelah kanan. Tuba falopinya harus dipotong sebab jabang bayi yang dikandungnya saat itu menempel di salah satu saluran tuba dan berkembang di luar rahim (ovarium).

Seperti istri saya, siapa pun perempuan yang telah menjalani operasi kehamilan ektopik kecil peluang untuk mendapatkan anak.

Tapi cara Tuhan membuat skenario sungguh luar biasa. Pasca operasi saya bersama istri berencana istirahat dari program kelahiran. Di luar kehendak kami, belum genap dua bulan pasca operasi, istri saya mengandung lagi.

Ketika mengetahui istri mengandung, kami berdua dihinggapi kecemasan mengingat keadaan Lola yang masih masa penyembuhan. Bagaimana mungkin dalam keadaan demikian rahimnya kuat mengandung seorang bayi.

Beberapa kali kami membicarakan keadaan ini. Apa langkah yang harus diambil. Apa kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Apalagi ada ketakutan jika kehamilan kali ini bisa berisiko kehamilan ektopik seperti sebelumnya. Jika tidak, apakah jabang bayi tidak akan membuat perut istri saya menjadi sakit lantaran bekas operasi yang belum sembuh total.

Saking takutnya, di hati kecil saya saat itu terbersit keinginan menggugurkan jabang bayi sesegera mungkin sebelum perkembangannya semakin membesar. Saya tidak ingin istri saya mengalami risiko melebihi ketika ia mesti terbaring hampir kehilangan kesadaran kala sebelum operasi ektopik. Perutnya mengalami kesakitan yang sangat lantaran perkembangan janin yang membesar bukan pada tempatnya.

Perlu diketahui kehamilan ektopik seperti informasi yang saya cari berisiko kematian. Hal ini terjadi ketika sang calon ibu mengalami pendarahan hebat dikarenakan kandungannya yang pecah. Karena tidak kuat menahan sakit pecahnya kandungan inilah yang sering kali membuat seorang calon ibu meninggal dunia.

Dalam kasus istri saya, setelah ditelusuri melalui USG, ia mengalami pendarahan hebat. Melihat situasi saat itu, seorang suster segera mengingatkan saya agar bertindak cepat ketika seketika diputuskan mesti segera dioperasi. Jika terlambat ditangani dan proses menjelang operasi yang lamban, kata suster kala itu akan berisiko kematian. “Apakah sempat terjadi sebelumnya, Sus?” kata saya. “Iya, pak. Pernah ada yang “lewat”” jawab suster setelah mengingatkan agar segera bertindak cepat.

Mengingat peristiwa itu, menghadapi kehamilan Lola yang kali keempat saya memilih keselamatan istri. Ini saya pikir jauh lebih realistis dibandingkan kandungannya yang masih sangat muda. Saat itu melalui hitungan masa haid, usia kandungan Lola masih berusia sekitar satu bulan. Masih sangat sangat muda.

Tapi, keputusan kami saat itu segera memeriksanya ke dokter kandungan. Opsi saat itu bagi saya, jika memang kasusnya masih kehamilan ektopik maka sesegera mungkin digugurkan entah dengan cara apa. Jika tidak dan kandungannya normal, sesuai harapan Lola maka ia mesti dipertahankan.

“Dipertahankan” saat itu berarti lain di pikiran saya. Itu artinya seiring membesarnya janin, maka secara otomatis akan membuat irisan operasi di perut Lola mengalami “gangguan”. Semakin membesar janin makan semakin membuat perut istri saya melar dan itu dalam keadaan bekas sayatan yang belum kering betul.

Tapi apa boleh buat. Risiko mesti diambil.

Dan setelah diperiksakan, melalui keterangan dokter terjadi penebalan rahim. Ini artinya Lola memang positif hamil.

Mengingat riwayat kehamilan Lola yang tiga kali keguguran dan pernah operasi kehamilan ektopik membuat dokter terheran-heran. Sangat jarang perempuan yang mengalami operasi kehamilan luar kandungan dapat segera hamil kembali. Peluangnya kecil karena hanya memiliki satu indung telur.

Namun, tetap saja kala itu belum ada keterangan pasti apakah kandungan kali ini dinyatakan di dalam rahim ataukah tidak. Itulah sebabnya, untuk mengetahui secara pasti Lola dimintai memeriksakan kembali kandungannya sepekannya lagi.

Kandungan Lola saat itu diketahui berusia lima minggu. Kata dokter jika pekan depan diketahui di luar kandungan, maka segera akan diberikan suntikan metotreksat agar menggagalkan janin berkembang.

Hari-hari setelah itu rasa was-was masih mengintai kami berdua. Selama sepekan nasib kandungan istri saya belum bisa dipastikan. Hingga akhirnya di pekan depannya kandungan Lola dinyatakan tumbuh di dalam rahim. Dan dinyatakan dalam keadaan baik.

“Pertahankan ki, Bu. Bagusji kandungan ta.”

“Bagaimana dengan bekas operasiku, Dok? Apakah tidak berbahaya ji?

“Tidak ji, Bu. Apalagi tidak bersamaan dengan dedek bayinya. Lagian nanti usia empat bulan ke atas baru membesar perut ta.

“Rahim ta baik-baik ji. Kan yang dibelah kemarin bukan rahim ta, hanya perut ta.

Begitulah kejadian saat itu. Kami khawatir perkembangan janin bakal menyakiti bekas sayatan di perut Lola yang belum kering.

Syahdan tiap minggu kami dimintai rutin memeriksakan kandungan Lola. Mulai saat itu istri saya rutin diberikan obat penguat agar janinnya dapat berkembang dengan baik.

***

BANU adalah amanah. Kehadirannya awalnya di luar perencanaan kami. Semenjak dinyatakan sehat dalam kandungan, ia senantiasa kami rawat sekemampuan kami. Sebisa mungkin. Sekeras-kerasnya.

Sering kali manusia berencana tapi Tuhanlah yang menentukan. Kata Imam Ali, ketika seluruh rencana kita amburadul tidak berjalan sesuai harapan, di saat-saat seperti itu justru Tuhan begitu dekat dengan kita. Ia hadir mengendalikan jalan cerita di tengah-tengah kita. Saat itu skenarioNya-lah yang sedang berjalan.

Di saat seperti itu kita dianjurkan jangan bersedih apalagi sampai marah. Seharusnya di kondisi itu kita mesti ikhlas. Bukankah skenario Tuhan jauh lebih baik berkali-kali lipat dibanding kehendak kita?

Itulah sebabnya di dalam Al Qur’an dinyatakan apa yang baik bagi kita belum tentu baik di mata Tuhan. Begitu pula, jangan sampai yang buruk di mata kita justru sebaliknya itulah yang baik bagi Tuhan.

Satu hal yang membuat Banu istimewa karena ia dihadirkan di luar persangkaan kami. Ia adalah realisasi dari kemauan Tuhan. Suatu rencana matang dari perencanaan siapa pun.

Banu dengan demikian adalah keajaiban di tengah-tengah kami berdua. Ia sebenar-benarnya anugerah.
Jika demikian, lalu apa yang mesti dikhawatirkan?