Rabu, 18 Agustus 2021

Banu Tiga Tahun, Tidak Ingin Menjadi Dokter Apalagi Tentara

Saat ini, karena suatu pekerjaan, Banu mesti ditinggal sementara oleh ibunya. Lola mau tidak mau harus berangkat ke Raja Ampat, Papua Barat, untuk kedua kalinya, dan akan kembali sepekan kemudian, yang itu berarti akan menjadi tantangan tersendiri bagi saya selama di rumah. Untuk sementara, di rumah hanya ada saya dan Banu, dan adik ipar yang bakal menghabiskan setengah hari bersekolah melalui jalur daring.

Selama Lola tidak di rumah, praktis, saya juga akan berperan seperti seorang ibu, dan itu akan membuat sebagian pekerjaan yang sering dilakukannya otomatis beralih menjadi pekerjaan saya.

Pembagian tugas seperti menyapu rumah, mencuci piring, atau mencuci pakaian, tidak pernah sama sekali memancing permintaan berlarut-larut di antara kami. Seperti alamiah saja, semua pekerjaan itu, selama ini sering dikerjakan oleh saya semenjak Lola melahirkan Banu. Pekerjaan ini bukan hal sulit jika tidak merasa kedodoran duluan apabila melihat tumpukan cucian berhari-hari, atau ceceran piring yang mulai mengering.

Semua pekerjaan itu masih bisa saya kerjakan dengan kedua tangan saya, kecuali memasak, yang kali ini akan menjadi pekerjaan domestik yang tidak akan mungkin saya abaikan.

Selama ini, satu-satunya aktivitas belakang yang membuat saya bergumul langsung dengan benda-benda dapur adalah, selain membuat mi, adalah juga menyeduh kopi. Yang terakhir ini, sampai sekarang, Lola bahkan tidak tahu sama sekali rumus takaran kopi seperti apa yang saya sukai.

Terkadang, sehari-hari, saya dan Lola saling melempar peran siapa yang akan memberi makan Banu, apakah saya atau dirinya, yang kerap bergumul dengan sejumlah berkas laporan pekerjaan. Mengenai makan, Lola agak disiplin soal waktu, kapan saat terbaik bagi Banu untuk makan, sementara saya, enteng saja, jika hampir setiap pagi Banu saya belikan paganan—yang merupakan kesukaannya—maka itu sudah menutupi rasa lapar Banu yang bisa bertahan hingga waktu duhur.

Lola selalu mendisiplinkan waktu makan Banu setiap sekitar jam 10 pagi.

”Jangan jadikan ukuran perutta sama seperti Banu.” Kata Lola suatu waktu.

Betul saja, saya sering menakar  kapan makan tidak makannya Banu, berdasarkan perasaan melalui perut saya. Terlalu sering mengkonsumsi kopi dari pagi membuat saya bisa tahan tidak makan seharian.

Pernah suatu kali, agar Banu kebal makanan pedas, saya melatihnya memakan kacang pedas tanpa air putih. Setiap kali ia merengek meminta air, segera saya menundanya, dan mengatakan ini latihan agar Banu tahan makanan-makanan pedas. Mukanya seperti melongok hantu.

Berbicara ketegasan, saya terkadang lebih mudah luluh dibanding Lola saat menghadapi kerewelan Banu. Saat Banu belum genap berusia 2 tahun, Lola pernah menyatakan bahwa saat anak menangis demi sesuatu hal yang belum diperlukan untuk usianya, maka yang harus dilakukan adalah membiarkannya menangis begitu saja. Kata Lola di saat itu anak-anak sebenarnya sedang bernegosiasi untuk mengetes sejauh apa upayanya—yang dilakukan dengan cara menangis—dapat berhasil meluluhkan hati orangtuanya. Semakin cepat kita mengalah, semakin tahulah si bayi bahwa keinginannya ternyata cepat pula terpenuhi.

”Jangan, biarkan saja. Nanti kalau dibiasakan akan mudah diukur oleh Banu”, begitu kira-kira ucapannya suatu waktu.

Saya tidak tahu darimana ia menemukan pengetahuan itu. Yang saya tahu, menangis bagi bayi secara tidak langsung memiliki efek kesehatan agar otot-otot jantungnya terlatih. Saya biarkan saja kejadian itu.

Satu-satunya aturan ketat yang saya terapkan agar Banu mematuhinya adalah penggunaan handphone. Aturan ini kemudian menjadi sedikit longgar ketika Banu sudah mulai bisa menggunakan otaknya untuk berbicara, dan mulai intens menyampaikan keinginan-keinginannya. Ketika tiga bulan terakhir aturan ini sedikit berubah dengan catatan ia hanya bisa bermain handphone jika ingin menonton rekaman videonya di masa bayi.

Belakangan entah setan apa,  sehingga saya kerap mengizinkannya membuka aplikasi youtube khusus anak-anak. Sekarang jika Banu bosan bermain, perhatiannya ingin terhubung dengan video-video anak di youtube kids. Jika sudah terasa lama, saya tinggal mengucapkan mantra seperti ini: ”Bodoh jadinya nak, kalau terlalu lama menggunakan handphone”. Banu tidak ingin bodoh, dan tahu apa yang harus ia lakukan.

Sudah hampir sebulan kalau tidak salah, sejak sekelompok tukang bangunan tidak pernah lagi datang saat pagi dan akan cepat menghilang meskipun sore masih baru. Itu berarti masjid kompleks perumahan secara de facto telah dianggap selesai dan akan  beroperasi secara full. Masjid ini posisinya terletak pas di depan rumah, dan jaraknya tidak sampai tiga puluh langkah untuk sampai ke salah satu sudutnya.  Bahkan salah satu pintunya nyaris bersejajar dengan pintu rumah, yang membuat saya dapat dengan leluasa melongok langsung ke dalamnya, hanya untuk mengetahui siapa warga paling rajin sering datang membersihkan terasnya yang kerap berdebu. Luasnya tidak seberapa dikarenakan besar bangunannya disesuaikan dengan konteks masjid perumahan.

Sejak beroperasi dibentuklah pengurus masjid, saya masuk sebagai pengurusnya dan diamanahi salah satu kunci pintunya saat beristirahat pasca kerja bakti. Alamak, pikir saya, seumur hidup tidak pernah saya bayangkan kejadian seperti ini. Menjadi remaja masjid saya pernah. Menjadi pengedar celengan saat salat idul fitri juga pernah saya lakukan, tapi menjadi pengurus masjid dan menjadi salah satu juru kunci masjid? Duh, tanggung jawab.

Sekarang hampir setiap lima waktu, suara toa masjid itu meraung-raung di atas genteng rumah. Sekali saya pernah dibuat jengkel setelah sebuah toa tambahan yang lebih besar digunakan mengganti toa sebelumnya. Raungannya membuat rumah seperti sedang berisi panggung konser  di dalamnya. Hari itu entah kepada siapa, ingin rasanya saya menceritakan dengan sungguh-sungguh satu kisah tentang seorang perempuan Kristen, yang semula bersemangat mempelajari keindahan ajaran Islam, akhirnya tidak jadi masuk Islam lantaran tanpa sengaja mendengar suara jelek azan dari seseorang yang begitu bersemangat berdakwah. Saya nyaris tidak dapat mendengar suara Banu jika, misalnya, bermohon ingin secepatnya berak atau kencing.

Jadi di waktu terakhir ini, demi menjaga image baik, saya usahakan agar sebisa mungkin dapat salat berjamaah di masjid bernama Jamiah Al Hidayah itu. Ini benar-benar suatu pengalaman baik yang selama ini malas saya lakukan. Hidayah Tuhan seakan-akan telah turun pada waktunya, yang membuat saya sudah saatnya sesekali memberanikan Banu ikut salat berjamaah. Sesekali ketika tiba mendirikan salat, ia hanya celengak celenguk melihat di sekeliling orang yang berdiri diam seperti sedang menjadi patung manekin busana. Sesekali di waktu lain ia otomatis bergerak mengikuti ”gerakan” salat. Sesekali ia bakal ikut berlari-lari di belakang saf bersama anak-anak lainnya. Sesekali ia bahkan pernah tiba-tiba menangis tanpa diketahui sebabnya, membuat saya terdorong menggendongnya walau salat masih menyisakan rakaat tersisa.





Sampai pagi ini tubuh saya masih merasakan kesakitan dan menginginkan agar seseorang dapat memijatnya. Kemarin, setelah mengurusi beberapa hal di pelatihan sekolah dibuat Lola, saya bersama Banu bertolak ke Indo Mode, pusat perbelanjaan yang sering membuat saya kalap terdorong membeli sesuatu, meski itu tidak dibutuhkan sama sekali.

”Ke atas dulu membeli topi, nak. Abi hadiahkan untuk Banu.”

Hari itu 16 Agustus, yang berarti hari ulang tahun Banu yang ke 3. Sejak kemarin ibunya membela-belakan membelikan Banu mainan mobil pertukangan untuknya. Dibungkusnya mainan itu menjadi sebuah kado bersampul biru muda, dan melarang Banu membukanya sebelum di hari ulang tahunnya.

Tahun ini, saya menghadiahi Banu sebuah topi sebagai kado ulang tahunnya. Topi yang tidak begitu antusias ia terima saat saya berikan langsung. Saat itu, ia lebih tertarik dengan setumpuk  mainan di etalase toko yang mengelilinginya.

”Main mobil-mobil Abi, di?”

”Iye, nak”

Hari itu saya sudah berjanji membawanya bermain mobil-mobilan di wahana bermain Indo Mode, dan ia masih terus mengingat dan menagihnya. Saya memang sudah menyatakan niat akan menemaninya selama satu hari di hari kelahirannya. Bermain mobil, menghadiahkan topi, dan tidak lupa, sebelumnya membiarkan ia bebas memillih cemilan apa yang ia senangi ketika saya mengajaknya ke Indomaret.

Malamnya, pasca Magrib saya tiba di rumah, dan seperti kesepakatan, saya dan Lola menyediakan waktu khusus untuk Banu. Jam 6 sore tadi, kue perayaan sudah tiba setelah dipesan dari siang. Ini saatnya acara potong kue, foto-foto, dan membuka kado yang sudah sejak semalam Banu inginkan.

”Banu mau menjadi apa, nak? Anak tekhnik? Jadi dokter?”

”Tidak mau!”

”Jadi guru?” 

”Tidak mau!”

”Tentara mo?

”Tidak mau!”

Ibunya bertanya, seolah-olah semua profesi itu bakal menjadi cita-cita Banu kelak.

”Mau jadi apa palena, Banu?”

”Jadi Banu!”,  jawabnya santai sambil membuka kertas kadonya.

God bless you, nak. Happy brithday.