Saat ini, karena suatu pekerjaan, Banu mesti ditinggal sementara oleh ibunya. Lola mau tidak mau harus berangkat ke Raja Ampat, Papua Barat, untuk kedua kalinya, dan akan kembali sepekan kemudian, yang itu berarti akan menjadi tantangan tersendiri bagi saya selama di rumah. Untuk sementara, di rumah hanya ada saya dan Banu, dan adik ipar yang bakal menghabiskan setengah hari bersekolah melalui jalur daring.
Selama
Lola tidak di rumah, praktis, saya juga akan berperan seperti seorang ibu, dan
itu akan membuat sebagian pekerjaan yang sering dilakukannya otomatis beralih
menjadi pekerjaan saya.
Pembagian
tugas seperti menyapu rumah, mencuci piring, atau mencuci pakaian, tidak pernah
sama sekali memancing permintaan berlarut-larut di antara kami. Seperti alamiah
saja, semua pekerjaan itu, selama ini sering dikerjakan oleh saya semenjak Lola
melahirkan Banu. Pekerjaan ini bukan hal sulit jika tidak merasa kedodoran
duluan apabila melihat tumpukan cucian berhari-hari, atau ceceran piring yang
mulai mengering.
Semua
pekerjaan itu masih bisa saya kerjakan dengan kedua tangan saya, kecuali
memasak, yang kali ini akan menjadi pekerjaan domestik yang tidak akan mungkin
saya abaikan.
Selama
ini, satu-satunya aktivitas belakang yang membuat saya bergumul langsung dengan
benda-benda dapur adalah, selain membuat mi, adalah juga menyeduh kopi. Yang
terakhir ini, sampai sekarang, Lola bahkan tidak tahu sama sekali rumus takaran
kopi seperti apa yang saya sukai.
Terkadang,
sehari-hari, saya dan Lola saling melempar peran siapa yang akan memberi makan
Banu, apakah saya atau dirinya, yang kerap bergumul dengan sejumlah berkas
laporan pekerjaan. Mengenai makan, Lola agak disiplin soal waktu, kapan saat
terbaik bagi Banu untuk makan, sementara saya, enteng saja, jika hampir setiap
pagi Banu saya belikan paganan—yang merupakan kesukaannya—maka itu sudah
menutupi rasa lapar Banu yang bisa bertahan hingga waktu duhur.
Lola
selalu mendisiplinkan waktu makan Banu setiap sekitar jam 10 pagi.
”Jangan
jadikan ukuran perutta sama seperti Banu.” Kata Lola suatu waktu.
Betul
saja, saya sering menakar kapan makan
tidak makannya Banu, berdasarkan perasaan melalui perut saya. Terlalu sering
mengkonsumsi kopi dari pagi membuat saya bisa tahan tidak makan seharian.
Pernah
suatu kali, agar Banu kebal makanan pedas, saya melatihnya memakan kacang pedas
tanpa air putih. Setiap kali ia merengek meminta air, segera saya menundanya,
dan mengatakan ini latihan agar Banu tahan makanan-makanan pedas. Mukanya
seperti melongok hantu.
Berbicara
ketegasan, saya terkadang lebih mudah luluh dibanding Lola saat menghadapi
kerewelan Banu. Saat Banu belum genap berusia 2 tahun, Lola pernah menyatakan
bahwa saat anak menangis demi sesuatu hal yang belum diperlukan untuk usianya,
maka yang harus dilakukan adalah membiarkannya menangis begitu saja. Kata Lola
di saat itu anak-anak sebenarnya sedang bernegosiasi untuk mengetes sejauh apa
upayanya—yang dilakukan dengan cara menangis—dapat berhasil meluluhkan hati
orangtuanya. Semakin cepat kita mengalah, semakin tahulah si bayi bahwa
keinginannya ternyata cepat pula terpenuhi.
”Jangan,
biarkan saja. Nanti kalau dibiasakan akan mudah diukur oleh Banu”, begitu kira-kira
ucapannya suatu waktu.
Saya
tidak tahu darimana ia menemukan pengetahuan itu. Yang saya tahu, menangis bagi
bayi secara tidak langsung memiliki efek kesehatan agar otot-otot jantungnya terlatih.
Saya biarkan saja kejadian itu.
Satu-satunya
aturan ketat yang saya terapkan agar Banu mematuhinya adalah penggunaan
handphone. Aturan ini kemudian menjadi sedikit longgar ketika Banu sudah mulai
bisa menggunakan otaknya untuk berbicara, dan mulai intens menyampaikan
keinginan-keinginannya. Ketika tiga bulan terakhir aturan ini sedikit berubah
dengan catatan ia hanya bisa bermain handphone jika ingin menonton rekaman
videonya di masa bayi.
Belakangan
entah setan apa, sehingga saya kerap
mengizinkannya membuka aplikasi youtube khusus anak-anak. Sekarang jika Banu
bosan bermain, perhatiannya ingin terhubung dengan video-video anak di youtube
kids. Jika sudah terasa lama, saya tinggal mengucapkan mantra seperti ini:
”Bodoh jadinya nak, kalau terlalu lama menggunakan handphone”. Banu tidak ingin
bodoh, dan tahu apa yang harus ia lakukan.
Sudah
hampir sebulan kalau tidak salah, sejak sekelompok tukang bangunan tidak pernah
lagi datang saat pagi dan akan cepat menghilang meskipun sore masih baru. Itu
berarti masjid kompleks perumahan secara de
facto telah dianggap selesai dan akan
beroperasi secara full. Masjid ini posisinya terletak pas di depan
rumah, dan jaraknya tidak sampai tiga puluh langkah untuk sampai ke salah satu
sudutnya. Bahkan salah satu pintunya
nyaris bersejajar dengan pintu rumah, yang membuat saya dapat dengan leluasa
melongok langsung ke dalamnya, hanya untuk mengetahui siapa warga paling rajin sering
datang membersihkan terasnya yang kerap berdebu. Luasnya tidak seberapa
dikarenakan besar bangunannya disesuaikan dengan konteks masjid perumahan.
Sejak
beroperasi dibentuklah pengurus masjid, saya masuk sebagai pengurusnya dan
diamanahi salah satu kunci pintunya saat beristirahat pasca kerja bakti.
Alamak, pikir saya, seumur hidup tidak pernah saya bayangkan kejadian seperti
ini. Menjadi remaja masjid saya pernah. Menjadi pengedar celengan saat salat
idul fitri juga pernah saya lakukan, tapi menjadi pengurus masjid dan menjadi
salah satu juru kunci masjid? Duh, tanggung jawab.
Sekarang
hampir setiap lima waktu, suara toa masjid itu meraung-raung di atas genteng
rumah. Sekali saya pernah dibuat jengkel setelah sebuah toa tambahan yang lebih
besar digunakan mengganti toa sebelumnya. Raungannya membuat rumah seperti sedang
berisi panggung konser di dalamnya. Hari
itu entah kepada siapa, ingin rasanya saya menceritakan dengan sungguh-sungguh
satu kisah tentang seorang perempuan Kristen, yang semula bersemangat
mempelajari keindahan ajaran Islam, akhirnya tidak jadi masuk Islam lantaran tanpa
sengaja mendengar suara jelek azan dari seseorang yang begitu bersemangat
berdakwah. Saya nyaris tidak dapat mendengar suara Banu jika, misalnya,
bermohon ingin secepatnya berak atau kencing.
Jadi di
waktu terakhir ini, demi menjaga image
baik, saya usahakan agar sebisa mungkin dapat salat berjamaah di masjid bernama
Jamiah Al Hidayah itu. Ini benar-benar suatu pengalaman baik yang selama ini
malas saya lakukan. Hidayah Tuhan seakan-akan telah turun pada waktunya, yang
membuat saya sudah saatnya sesekali memberanikan Banu ikut salat berjamaah.
Sesekali ketika tiba mendirikan salat, ia hanya celengak celenguk melihat di
sekeliling orang yang berdiri diam seperti sedang menjadi patung manekin busana.
Sesekali di waktu lain ia otomatis bergerak mengikuti ”gerakan” salat. Sesekali
ia bakal ikut berlari-lari di belakang saf bersama anak-anak lainnya. Sesekali
ia bahkan pernah tiba-tiba menangis tanpa diketahui sebabnya, membuat saya
terdorong menggendongnya walau salat masih menyisakan rakaat tersisa.
”Ke atas
dulu membeli topi, nak. Abi hadiahkan untuk Banu.”
Hari itu
16 Agustus, yang berarti hari ulang tahun Banu yang ke 3. Sejak kemarin ibunya
membela-belakan membelikan Banu mainan mobil pertukangan untuknya. Dibungkusnya
mainan itu menjadi sebuah kado bersampul biru muda, dan melarang Banu
membukanya sebelum di hari ulang tahunnya.
Tahun
ini, saya menghadiahi Banu sebuah topi sebagai kado ulang tahunnya. Topi yang
tidak begitu antusias ia terima saat saya berikan langsung. Saat itu, ia lebih
tertarik dengan setumpuk mainan di etalase
toko yang mengelilinginya.
”Main
mobil-mobil Abi, di?”
”Iye,
nak”
Hari itu
saya sudah berjanji membawanya bermain mobil-mobilan di wahana bermain Indo
Mode, dan ia masih terus mengingat dan menagihnya. Saya memang sudah menyatakan
niat akan menemaninya selama satu hari di hari kelahirannya. Bermain mobil,
menghadiahkan topi, dan tidak lupa, sebelumnya membiarkan ia bebas memillih
cemilan apa yang ia senangi ketika saya mengajaknya ke Indomaret.
Malamnya,
pasca Magrib saya tiba di rumah, dan seperti kesepakatan, saya dan Lola
menyediakan waktu khusus untuk Banu. Jam 6 sore tadi, kue perayaan sudah tiba
setelah dipesan dari siang. Ini saatnya acara potong kue, foto-foto, dan
membuka kado yang sudah sejak semalam Banu inginkan.
”Banu
mau menjadi apa, nak? Anak tekhnik? Jadi dokter?”
”Tidak
mau!”
”Jadi
guru?”
”Tidak
mau!”
”Tentara
mo?
”Tidak
mau!”
Ibunya
bertanya, seolah-olah semua profesi itu bakal menjadi cita-cita Banu kelak.
”Mau
jadi apa palena, Banu?”
”Jadi
Banu!”, jawabnya santai sambil membuka
kertas kadonya.
God
bless you, nak. Happy brithday.