Minggu, 21 November 2021

Pawa Pawa Wit Pawa Wit: Sebuah Esai untuk Hari Anak Internasional

”Pawa wit, pawa wit, pawa wit, poteko, poteko, potekoo..”

Banu bernyanyi. Dengan kosakata yang tidak tercatat dalam KBBI. Sudah tentu karena itu sama sekali tidak saya ketahui apa artinya. Mungkin juga Anda.

Seringkali memang ia suka meniru suara apa saja, lagu-lagu yang ia dengarkan, suara binatang, bahkan ungkapan-ungkapan kalimat percakapan antara saya dan Lola, ibunya.

Percaya atau tidak, beberapa hal absurd pernah saya lakukan untuk Banu agar ia bisa fasih berbicara, dan salah satunya dengan mengusap emas di sepanjang lidahnya, mengharapkan sesuatu keajaiban bakal terjadi setelah itu. Entah di usia Banu yang keberapa saya melakukan itu, yang saya lakukan diiringi salawat sama seperti saat di hampir tiap malam jelang ia terlepas tidur, saya ucapkan juga di ubun-ubun kepalanya.

Sebagai keluarga muda, tidak ada emas yang saya miliki, yang saya gunakan dalam kelakuan dianggap berbau tahayul itu,  kecuali menggunakan cincin emas Lola yang jarang ia pakai itu.

Itu mitos yang berkembang di sekitar kita yang membuat banyak orangtua merasa perlu melakukannya.

Jika Anda menyukai burung beo dan menginginkan agar ia dapat meniru suara apa saja, tindakan ini juga dapat Anda coba.

Anda tahu, pada umumnya manusia suka mempercayai apa yang tidak ia ketahui bagaimana cara kerja sesuatu itu dapat terjadi. Membiarkannya berlangsung berdasarkan hukum-hukum alam di luar dari pengetahuan mereka. Di titik itu, manusia menyerahkan sepenuhnya kepada iman. Memberikan peluang lebih besar kepada kekuatan di luar akal sehat mereka.

Selama ini, mitos bukannya telah hilang seperti kepercayaan masyarakat modern, yang mencari-cari  bentuk kepercayaan yang lebih canggih dan progressif. Setelah terjadi revolusi kesadaran, banyak orang menemukan sains seperti kebahagiaan masyarakat terdahulu mendapatkan mitos sebagai sistem penjelas atas seluruh pengalaman yang mereka lakukan. Saat ini hampir setiap orang mendudukkan sains sebagai satu-satunya paradigma keilmuannya, sembari  ia meninggalkan mitos yang sebenarnya  hanya berganti rupa ke dalam wujud yang lebih rasional dan masuk akal. Sains, meskipun getol sampai hari ini memukul mundur dan berusaha mematikan cerita-cerita tak masuk akal, tetap akan berkedudukan juga seperti mitos. Ia akan menjadi mitos baru dengan kadar kemasukakalan yang lebih dari kepercayaan sebelumnya.

Sampai sekarang, mitos yang lain juga masih saya lakukan. Seringkali jika pulang larut malam, pantangan bagi seseorang untuk sesegera masuk ke dalam rumah. Lebih afdol menunggu sejenak di luar untuk membuang energi negatif agar tidak ikut masuk ke dalam rumah. Jika Anda memiliki anak yang masih bayi, pantangan ini akan terus Anda ingat selama ini menjadi bagian dari keyakinan Anda.

Pengaruh negatif adalah tafsir saya saja, yang sebenarnya, dimaksudkan oleh orangtua di kampung sebagai makhluk halus. Anak bayi bisa peka dengan urusan makhluk gaib. Bagi sebagian orang, kemampuan ini dianggap ada kaitannya dengan jiwa bayi yang belum ternoda oleh pengalaman buruk dalam hidupnya, sehingga mata batinnya mampu menangkap gelagat  jahil makhluk halus di sekitarnya. Percaya atau tidak, saya bukan dalam rangka untuk meminta kepercayaan Anda pada bagian ini.

Tapi, Banu pernah mengalami semacam peristiwa ganjil. Suatu kali, di suatu malam belum lama Isya mulai meninggi, ia menangis tidak seperti biasa. Popoknya tidak sama sekali basah karena kencing dan bukan karena itu yang mendorongnya menangis. Tidak mungkin juga karena lapar, dan saat itu ia juga tidak sedang sakit perut. Tangisannya semakin menjadi-jadi meski ibunya telah menggendongnya selama sekian lama.

”Ada yang ikuti Banu pulang, kayaknya?” ungkap kecurigaan nenek Banu dalam bahasa Bugis.

Malam itu atas bantuan tetangga Banu saya bawa ke seorang sanro kampung tidak jauh dari rumah. Dari punggungnya dibacakan sesuatu yang dimulai dengan ucapan basmallah, satu-satunya kalimat yang saya tahu apa yang sedang diucapkan saat itu. Tidak sampai satu menit ”baca-baca”, entah apa, yang saya duga ia ambil dari potongan ayat suci Al Qur’an dilakukan. Tangisan Banu mulai mereda dan berhenti tidak lama setelah itu. Belum sampai di rumah Banu sudah terlelap tidur selama di perjalanan.

”Itu pohon besar di depan gerbang perumahan, memang ada penunggunya di situ.”

Saya mengangguk meski tidak sepenuhnya percaya dengan omongan tetangga. Tapi, di depan perumahan memang tumbuh menjulang tinggi dua pohon mangga hutan, tegak berdiri seperti gerbang raksasa berwarna hijau. Tempat paling pas bagi ular, kelelawar, dan tawon untuk bersarang. Di malam itu, sebelum Banu menangis seperti sedang meratapi sesuatu, kami sempat keluar rumah dan baru pulang setelah magrib lewat.

Pengalaman adalah guru yang paling berharga, dan setelah kejadian itu, sampai sekarang saya tidak akan meninggalkan petuah orang kampung menyangkut adab-adab ketika pulang ke rumah saat malam hari.

Sebelum Banu mampu berjalan, saya sering diimbau Bapak mengibaskan sajadah yang saya pakai setelah salat Jumat, di kedua lutut Banu. Menurut keyakinan itu akan mempercepat seorang anak bisa segera berjalan. Saya melakukannya. Percaya tidak percaya imbauan orangtua kerap bertuah. Kali ini juga dengan iringan salawat.

Butuh waktu berbulan-bulan bagi seorang anak manusia agar dapat berjalan tegak menyerupai seorang manusia dewasa. Kecakapan alamiah manusia berbeda dengan binatang, yang seperti anak kucing, misalnya, tidak membutuhkan waktu yang lama agar dapat menggunakan keempat kakinya secara bergantian saat mulai berjalan. Bagi manusia, meski hanya menggunakan kedua kakinya, butuh penyesuaian bagi otak kiri dan otak kanannya agar kedua kakinya dapat digerakkan tidak secara bersamaan. Dan, untuk tiba di waktu itu, bagi bayi ia mesti terlebih dahulu mengalami fase merangkak, menguatkan otot lehernya, menyiapkan tulang punggungnya, kedua titik di sikunya, dan menyetel fungsi kerja kedua bagian otaknya.

Banu karena bertubuh gempal melewati fase ini dengan caranya sendiri. Ada suatu masa ia kesulitan mengangkat tubuhnya yang berat. Menyeimbangkannya, dan mulai berani untuk bertumpu dari kedua telapak kaki dan lututnya.

Bulu mata Banu termasuk panjang oleh karena itu hasil perbuatan ibunya. Di awal-awal Banu belum berusia sebulan Lola sering menjilat tempat bulu matanya, dan entah bagaimana bulunya tumbuh panjang seperti sedang menggunakan bulu mata kw.

Ini imbauan yang berbau mitos, tapi hasilnya bekerja, setidaknya untuk diri Banu.

Sekarang ilmu parenting berkembang, disertai nubuat-nubuat modern yang mengajarkan cara mendidik anak idealnya bagaimana dan seperti apa. Tidak jarang hal-hal di atas mulai ditinggalkan menggantikan praktik perawatan anak yang pernah dilakukan orangtua dulu.

Mitos dihilangkan karena dianggap tahayul. Masyarakat bertransformasi menjadi entitas yang ilmiah menyebabkan paradigma kebudayaan mesti diafirmasi melalui cara berpikir rasional. Sains menjadi ilmu yang mencakup segala hal, tidak terkecuali bagaimana cara mendidik anak berganti pendekatan ilmu pendidikan modern yang rasional dan behavioristik. Anak-anak akhirnya tumbuh tidak dengan alam budaya orangtuanya, yang dengan sendirinya masa depannya tidak akan tumbuh bersamaan kebiasaan, pendekatan, tradisi, dan kepercayaan yang sekian lama hidup dalam pola pikir masyarakat dan semangat lokalitasnya.

Bagi saya akan fatal ketika menyamakan pengalaman masyarakat Barat dengan pengalaman masyarakat kita ke dalam satu kategori masyarakat modern. Hukum evolusi perkembangan masyarakat seperti dibayangkan ilmuwan Barat tidak sama sekali bergerak linier dan universal. Setiap masyarakat berkembang akan sangat ditentukan dari pengalaman historisnya, kebutuhan, dan bagaimana mereka mengorientasikan masa depannya. Di masyarakat Timur seperti kita akan sangat menarik dan merupakan ciri khas jika mitos bertahan bersamaan dengan tumbuhnya sains. Legenda masih hidup di tengah-tengah masyarakat global, dan keyakninan khas bangsa Timur yang membaca Barat dengan semangat pembaruan. 

Ada satu buku menarik belakangan ini yang saya baca secara bergantian dengan buku-buku lain, yakni tulisan bernas dari Reza Aslan, master teologi dari Universitas Harvard berkebangsaan Iran. Tuhan Sebuah Sejarah Manusia, judul bukunya yang berisi tentang pikiran skeptiknya tentang tuhan dan agama. Bagi Aslan, Tuhan dalam pengalaman manusia dan kebudayaannya tidak mencukupi untuk melukiskan pengalaman keberimanan atasnya. Dia percaya Tuhan itu universal dan hadir di mana-mana. Karena itu, Aslan menggali pengalaman manusia menyangkut keimanannya atas Tuhan, yang diyakininya hanya dari pengalaman manusialah Tuhan dapat hadir dan direfleksikan ke dalam konsep-konsep yang bisa dipercaya.

Itulah sebabnya, setiap pengalaman manusia berbeda-beda menciptakan kebudayaannya, dan Tuhan dari setiap kebudayaan sering diungkapkan melalui bermacam-macam representasi berupa nama, simbol, dan narasi kesukuannya.

Jika Anda penggemar pemikiran filsafat, dan menyukai gaya berfilsafat Ludwig Feuerbach tentang bagaimana manusia menciptakaan sangkaannya tentang Tuhan, maka Anda juga kemungkinannya akan menyukai buku ini. Anda mungkin kecewa karena ternyata Tuhan hanyalah orientasi pikiran kita yang dibumbui dari dalamnya dengan harapan-harapan ideal.

Ini seperti saat Anda dilema menentukan siapa yang harus menggunakan satu-satunya parasut penyelamat di antara Anda atau teman Anda. Pesawat mengalami korsleting dan membuatnya terjatuh. Dalam situasi ini Anda harus memilih satu orang yang lebih layak melanjutkan kehidupan, dikarenakan maut hanya menginginkan satu korban. Di film-film, sebelum mati biasanya yang berkorban akan menyampaikan pesan dan harapan-harapan terakhirnya kepada sang terpilih. Anda akan mati dan mengharapkan keinginan-keinginan Anda tetap hidup melalui teman Anda yang selamat.

Banu bersama kedua kakak sepupunya: Athaya dan Ayman


Itu analogi yang kurang cocok tapi mau bagaimana lagi. Tuhan lebih sering kita sebut sebagai pengabul harapan-harapan kita, persis seperti kisah lampu Aladdin. Dalam doa-doa umat manusia, Tuhan berubah dari wujud dirinya sendiri, menjadi sesuai seperti bagaimana kebutuhan dan harapan manusia menginginkannya. Si miskin melihatnya sebagai yang Maha Kaya, si penderita melihatnya sebagai yang Maha Penolong, si sakit melihatnya sebagai yang Maha Penyembuh, si kaya, kecil kemungkinan meminta pertolongan dikarenakan ia melihat Tuhannya tidak seperti orang-orang miskin melihatnya.

Tuhan menurut Aslan, hanya realisasi imajinal manusia yang diekspor ke dalam konsep-konsep karena ketidaksempurnaan manusia. Tuhan, tidak lebih dari citra antropologi manusia yang ia bicarakan sebagai teologi, kata Feuerbach.

Nah, di pembuka buku ini, Aslan menceritakan pengalamannya di masa kecil tentang Tuhan yang ia bayangkan seperti bapaknya, yang tinggi beruban dan memiliki kekuatan lebih besar dari dirinya, sehingga berkemampuan dapat naik ke atas langit dan membangun rumah di atasnya sebagai tempat tinggalnya.

Ia tidak yakin dari mana awalnya datang konsep Tuhan semacam itu, mungkin dari lukisan berwarna biru dan merah di kaca-kaca jendela di gereja, yang umumnya menampakan wajah Yesus dari Nazaret, atau di tempat lain. Aslan sendiri tidak yakin.

Saya akhirnya berpikir kapan saya mulai kali pertama memiliki konsep tentang Tuhan di pikiran saya, dan bukan konsep agama seperti diajarkan melalui kedua orangtua saya. Di umur berapa saya mulai memiliki pengertian mengenai Tuhan, di saat apa dan melalui apa. Apakah melalui agama, atau dari cara dan cerita lain. Apakah saya saat itu juga menganggapnya seperti seorang bapak, makhluk yang saya bisa lihat sehari-hari bekerja siang malam, merokok, dan di waktu lain terlihat memperbaiki mesin motor.

Tuhan bagaimanakah ia pertama kali saya kenal?

Sekarang, Banu sebelum tidur setelah membaca doa berupa surah Al Fatiha dan Al Ikhlas—tentu dengan cara ucapannya sendiri, terbiasa membuat semacam pengaduan kepada Tuhan.

”Ya Allah, Banu mau tidur. Maafkan Banu, ya Allah.”

”Ya Allah, minta rezekinya, mau beli mobil.. mau beli susu. Mau beli mainan.”

”Ya Allah, minta maaf terima kasih, ya Allah. Terima kasih mamak, terima kasih Abi…”

Begitulah, suatu pengalaman yang tidak ia dapatkan kecuali dari Lola, ibunya. Betapapun ia kerap melakukannya sambil sedikit berteriak, Tuhan belum sepenuhnya ia pahami. Kebiasan ini belum lama ia lakukan. Saya kaget saat mendengarnya pertama kali, dan mulai saat itu penasaran bagaimana Tuhan sebagai suatu nama dapat diketahui dan dimengerti anak-anak seperti Banu.

Tapi, saya tidak perlu seserius mengikuti orangtua pada umumnya yang sangat agamamis mendidik anaknya. Untuk seusia Banu saat ini, ia mesti banyak menghabiskan waktunya untuk bermain. Saya belum terdorong untuk menjelaskan apa arti Tuhan bagi ”pikirannya” yang masih kanak-kanak. Cukuplah ia tahu bahwa ada sesuatu yang ia jadikan tujuan pengharapan setiap malam, meski itu hanya agar ia dapat memiliki mainan dan susu yang sering ia minta jika sudah bermain.

Antara Tuhan dan pikirannya, masih terbentang jarak usia yang panjang. Ada dua titik yang demikian kompleks untuk saling dipertemukan kelak. 

Untuk saat ini, kalimat-kalimat semacam lagu Banu di atas yang lebih menarik perhatian saya. Dari mana ia mengambilnya, apa artinya untuk dirinya, dan terutama untuk saya. Tantangan yang lumayan sulit tidak berbeda dengan satu dua kata yang suka ia ucapkan dengan caranya sendiri, yang membutuhkan referensi ke dalam pengalaman bersama menyangkut apa yang sedang ia sebutkan.

Anak-anak sekarang lebih banyak menghadapi tantangan zaman tidak seperti satu atau dua dekade lalu, atau generasi kakek nenek mereka. Mereka akan tumbuh dalam satu dunia yang setiap detik mengalami disrupsi total, dan membuat kesadaran dan pengalaman mereka akan lebih beraneka. Lebih mudah menjadi bagian dari penduduk global meski hanya akan terus terhubung melalui dunia jaringan, yang membuat mereka akan lebih mudah cemas dan depresi akibat tekanan ekspektasi dunia yang menuntut progressivitas.

Anak-anak di masa depan akan lebih banyak menuntut kebebasannya, lebih banyak perlu perhatian menyangkut hak-haknya. Begitu pula kewajiban-kewajiban sosialnya tidak akan lagi dipengaruhi sekat-sekat rasial, agama, dan suku. Mereka akan tumbuh bersamaan dengan kemajuan teknologi informasi, pudarnya pesona masa lalu, dan sains sebagai cara berpikir dan pembuktian keyakinannya. Mereka akan tumbuh menjadi anak-anak zamannya.

Selamat Hari Anak Internasional 20 November 2021.

Kamis, 14 Oktober 2021

Burung Kakatua versi Banu

1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10. Angka 6 pasti luput Banu sebutkan, meskipun ia pernah menghapalnya dengan lengkap. Sekarang, justru angka itu hilang dari ingatannya. Mungkin, belakangan ini waktunya banyak ia habiskan bersama gadget. Jarang belajar dan lebih banyak menyanyikan lagu “Burung Kakatua”.

“Burung kakak Ayman tuaaa.. hinggap di jendelaa..”

“Bukan Burung Kakak Ayman, nak, Burung Kakatua...” Banu selalu diingatkan, tapi frase itu yang justru jadi lirik kesenangan, yang sering ia nyanyikan.

Ayman, adalah kakak sepupu Banu. Satu tahun usianya di atas Banu, dan jika mereka bertemu, mainan-mainan Banu akan menjadi surga bagi mereka. Rumah akan seperti wahana dunia anak-anak. Mainan di mana-mana.

Sering mereka berdua saling mengirim video jika tidak bisa saling menelpon. Saat Ayman ingin disunat beberapa minggu kemarin, Ayman mengamuk dan hanya ingin menelpon Banu melalui video call. Ayman tinggal di Jeneponto, dan saat disunat ia di Bulukumba mengunjungi neneknya.

Sekarang, Ayman sudah sembuh dari luka sunatnya. Dan “butonya” jadi lebih khas seperti bentuk sunatan umumnya. Hanya tiga hari kalau tidak salah ia sudah mampu bermain-main seperti biasa.

Jadi, saya merasa lucu sendiri jika Banu menyanyikan lagu di atas, yang menyebut “burung” Ayman tua. Banu belum paham, bahwa “burung” bisa memiliki banyak arti, apalagi di dalam imajinasi orang dewasa.

Itu sebabnya, saya selalu mengggunakan kata “buto” untuk menunjuk alat kelamin Banu. Bukan “matahari” seperti sebutan saya untuk menyebut alat kelamin laki-laki bagi teman-teman saat bercanda.

Rabu, 18 Agustus 2021

Banu Tiga Tahun, Tidak Ingin Menjadi Dokter Apalagi Tentara

Saat ini, karena suatu pekerjaan, Banu mesti ditinggal sementara oleh ibunya. Lola mau tidak mau harus berangkat ke Raja Ampat, Papua Barat, untuk kedua kalinya, dan akan kembali sepekan kemudian, yang itu berarti akan menjadi tantangan tersendiri bagi saya selama di rumah. Untuk sementara, di rumah hanya ada saya dan Banu, dan adik ipar yang bakal menghabiskan setengah hari bersekolah melalui jalur daring.

Selama Lola tidak di rumah, praktis, saya juga akan berperan seperti seorang ibu, dan itu akan membuat sebagian pekerjaan yang sering dilakukannya otomatis beralih menjadi pekerjaan saya.

Pembagian tugas seperti menyapu rumah, mencuci piring, atau mencuci pakaian, tidak pernah sama sekali memancing permintaan berlarut-larut di antara kami. Seperti alamiah saja, semua pekerjaan itu, selama ini sering dikerjakan oleh saya semenjak Lola melahirkan Banu. Pekerjaan ini bukan hal sulit jika tidak merasa kedodoran duluan apabila melihat tumpukan cucian berhari-hari, atau ceceran piring yang mulai mengering.

Semua pekerjaan itu masih bisa saya kerjakan dengan kedua tangan saya, kecuali memasak, yang kali ini akan menjadi pekerjaan domestik yang tidak akan mungkin saya abaikan.

Selama ini, satu-satunya aktivitas belakang yang membuat saya bergumul langsung dengan benda-benda dapur adalah, selain membuat mi, adalah juga menyeduh kopi. Yang terakhir ini, sampai sekarang, Lola bahkan tidak tahu sama sekali rumus takaran kopi seperti apa yang saya sukai.

Terkadang, sehari-hari, saya dan Lola saling melempar peran siapa yang akan memberi makan Banu, apakah saya atau dirinya, yang kerap bergumul dengan sejumlah berkas laporan pekerjaan. Mengenai makan, Lola agak disiplin soal waktu, kapan saat terbaik bagi Banu untuk makan, sementara saya, enteng saja, jika hampir setiap pagi Banu saya belikan paganan—yang merupakan kesukaannya—maka itu sudah menutupi rasa lapar Banu yang bisa bertahan hingga waktu duhur.

Lola selalu mendisiplinkan waktu makan Banu setiap sekitar jam 10 pagi.

”Jangan jadikan ukuran perutta sama seperti Banu.” Kata Lola suatu waktu.

Betul saja, saya sering menakar  kapan makan tidak makannya Banu, berdasarkan perasaan melalui perut saya. Terlalu sering mengkonsumsi kopi dari pagi membuat saya bisa tahan tidak makan seharian.

Pernah suatu kali, agar Banu kebal makanan pedas, saya melatihnya memakan kacang pedas tanpa air putih. Setiap kali ia merengek meminta air, segera saya menundanya, dan mengatakan ini latihan agar Banu tahan makanan-makanan pedas. Mukanya seperti melongok hantu.

Berbicara ketegasan, saya terkadang lebih mudah luluh dibanding Lola saat menghadapi kerewelan Banu. Saat Banu belum genap berusia 2 tahun, Lola pernah menyatakan bahwa saat anak menangis demi sesuatu hal yang belum diperlukan untuk usianya, maka yang harus dilakukan adalah membiarkannya menangis begitu saja. Kata Lola di saat itu anak-anak sebenarnya sedang bernegosiasi untuk mengetes sejauh apa upayanya—yang dilakukan dengan cara menangis—dapat berhasil meluluhkan hati orangtuanya. Semakin cepat kita mengalah, semakin tahulah si bayi bahwa keinginannya ternyata cepat pula terpenuhi.

”Jangan, biarkan saja. Nanti kalau dibiasakan akan mudah diukur oleh Banu”, begitu kira-kira ucapannya suatu waktu.

Saya tidak tahu darimana ia menemukan pengetahuan itu. Yang saya tahu, menangis bagi bayi secara tidak langsung memiliki efek kesehatan agar otot-otot jantungnya terlatih. Saya biarkan saja kejadian itu.

Satu-satunya aturan ketat yang saya terapkan agar Banu mematuhinya adalah penggunaan handphone. Aturan ini kemudian menjadi sedikit longgar ketika Banu sudah mulai bisa menggunakan otaknya untuk berbicara, dan mulai intens menyampaikan keinginan-keinginannya. Ketika tiga bulan terakhir aturan ini sedikit berubah dengan catatan ia hanya bisa bermain handphone jika ingin menonton rekaman videonya di masa bayi.

Belakangan entah setan apa,  sehingga saya kerap mengizinkannya membuka aplikasi youtube khusus anak-anak. Sekarang jika Banu bosan bermain, perhatiannya ingin terhubung dengan video-video anak di youtube kids. Jika sudah terasa lama, saya tinggal mengucapkan mantra seperti ini: ”Bodoh jadinya nak, kalau terlalu lama menggunakan handphone”. Banu tidak ingin bodoh, dan tahu apa yang harus ia lakukan.

Sudah hampir sebulan kalau tidak salah, sejak sekelompok tukang bangunan tidak pernah lagi datang saat pagi dan akan cepat menghilang meskipun sore masih baru. Itu berarti masjid kompleks perumahan secara de facto telah dianggap selesai dan akan  beroperasi secara full. Masjid ini posisinya terletak pas di depan rumah, dan jaraknya tidak sampai tiga puluh langkah untuk sampai ke salah satu sudutnya.  Bahkan salah satu pintunya nyaris bersejajar dengan pintu rumah, yang membuat saya dapat dengan leluasa melongok langsung ke dalamnya, hanya untuk mengetahui siapa warga paling rajin sering datang membersihkan terasnya yang kerap berdebu. Luasnya tidak seberapa dikarenakan besar bangunannya disesuaikan dengan konteks masjid perumahan.

Sejak beroperasi dibentuklah pengurus masjid, saya masuk sebagai pengurusnya dan diamanahi salah satu kunci pintunya saat beristirahat pasca kerja bakti. Alamak, pikir saya, seumur hidup tidak pernah saya bayangkan kejadian seperti ini. Menjadi remaja masjid saya pernah. Menjadi pengedar celengan saat salat idul fitri juga pernah saya lakukan, tapi menjadi pengurus masjid dan menjadi salah satu juru kunci masjid? Duh, tanggung jawab.

Sekarang hampir setiap lima waktu, suara toa masjid itu meraung-raung di atas genteng rumah. Sekali saya pernah dibuat jengkel setelah sebuah toa tambahan yang lebih besar digunakan mengganti toa sebelumnya. Raungannya membuat rumah seperti sedang berisi panggung konser  di dalamnya. Hari itu entah kepada siapa, ingin rasanya saya menceritakan dengan sungguh-sungguh satu kisah tentang seorang perempuan Kristen, yang semula bersemangat mempelajari keindahan ajaran Islam, akhirnya tidak jadi masuk Islam lantaran tanpa sengaja mendengar suara jelek azan dari seseorang yang begitu bersemangat berdakwah. Saya nyaris tidak dapat mendengar suara Banu jika, misalnya, bermohon ingin secepatnya berak atau kencing.

Jadi di waktu terakhir ini, demi menjaga image baik, saya usahakan agar sebisa mungkin dapat salat berjamaah di masjid bernama Jamiah Al Hidayah itu. Ini benar-benar suatu pengalaman baik yang selama ini malas saya lakukan. Hidayah Tuhan seakan-akan telah turun pada waktunya, yang membuat saya sudah saatnya sesekali memberanikan Banu ikut salat berjamaah. Sesekali ketika tiba mendirikan salat, ia hanya celengak celenguk melihat di sekeliling orang yang berdiri diam seperti sedang menjadi patung manekin busana. Sesekali di waktu lain ia otomatis bergerak mengikuti ”gerakan” salat. Sesekali ia bakal ikut berlari-lari di belakang saf bersama anak-anak lainnya. Sesekali ia bahkan pernah tiba-tiba menangis tanpa diketahui sebabnya, membuat saya terdorong menggendongnya walau salat masih menyisakan rakaat tersisa.





Sampai pagi ini tubuh saya masih merasakan kesakitan dan menginginkan agar seseorang dapat memijatnya. Kemarin, setelah mengurusi beberapa hal di pelatihan sekolah dibuat Lola, saya bersama Banu bertolak ke Indo Mode, pusat perbelanjaan yang sering membuat saya kalap terdorong membeli sesuatu, meski itu tidak dibutuhkan sama sekali.

”Ke atas dulu membeli topi, nak. Abi hadiahkan untuk Banu.”

Hari itu 16 Agustus, yang berarti hari ulang tahun Banu yang ke 3. Sejak kemarin ibunya membela-belakan membelikan Banu mainan mobil pertukangan untuknya. Dibungkusnya mainan itu menjadi sebuah kado bersampul biru muda, dan melarang Banu membukanya sebelum di hari ulang tahunnya.

Tahun ini, saya menghadiahi Banu sebuah topi sebagai kado ulang tahunnya. Topi yang tidak begitu antusias ia terima saat saya berikan langsung. Saat itu, ia lebih tertarik dengan setumpuk  mainan di etalase toko yang mengelilinginya.

”Main mobil-mobil Abi, di?”

”Iye, nak”

Hari itu saya sudah berjanji membawanya bermain mobil-mobilan di wahana bermain Indo Mode, dan ia masih terus mengingat dan menagihnya. Saya memang sudah menyatakan niat akan menemaninya selama satu hari di hari kelahirannya. Bermain mobil, menghadiahkan topi, dan tidak lupa, sebelumnya membiarkan ia bebas memillih cemilan apa yang ia senangi ketika saya mengajaknya ke Indomaret.

Malamnya, pasca Magrib saya tiba di rumah, dan seperti kesepakatan, saya dan Lola menyediakan waktu khusus untuk Banu. Jam 6 sore tadi, kue perayaan sudah tiba setelah dipesan dari siang. Ini saatnya acara potong kue, foto-foto, dan membuka kado yang sudah sejak semalam Banu inginkan.

”Banu mau menjadi apa, nak? Anak tekhnik? Jadi dokter?”

”Tidak mau!”

”Jadi guru?” 

”Tidak mau!”

”Tentara mo?

”Tidak mau!”

Ibunya bertanya, seolah-olah semua profesi itu bakal menjadi cita-cita Banu kelak.

”Mau jadi apa palena, Banu?”

”Jadi Banu!”,  jawabnya santai sambil membuka kertas kadonya.

God bless you, nak. Happy brithday.


Senin, 01 Maret 2021

Banu dan Kuda Tunggangannya

Menjadi ayah yang baik untuk Banu adalah sebuah tantangan tersendiri, terlebih setelah saya diberikan tugas baru olehnya di waktu belakangan ini.  

 

Sudah hampir sebulan nyaris setiap malam saya harus berubah menjadi kuda tunggangannya. Di atas tempat tidur jika Isya mulai ditinggalkan, ia mulai meminta bermain kuda-kudaan. Saat ini ia seolah-olah akan menjadi Don Quixote de la Mancha ala Chervantes, yang hendak mengembara menumpas kejahatan entah ke negeri-negeri jauh.  

 

Bantal-bantal ia sisihkan mengubah ranjang seperti padang sabana di daratan Eropa. Tentu ini bukan bayangan imajinasinya, melainkan gambaran saya sendiri yang membuatnya seperti itu. Untuk mendalami peran saja maksud saya. 

 

Tidak lama ia akan memanjat naik pinggang ramping ini, dengan usaha yang agak dipaksakan karena sengaja saya sering membuat pelana menjadi lebih tinggi. Beberapa kali ia mencoba ia kerap gagal naik. 

 

”Kalau tidak berhasil naik, kudanya lari, nak.” Si kuda mengingatkan. 

 

”Jangan Abi, jangan!” Sang Ksatria menolak. 

 

Kalau ia sudah berkeringat, barulah saya menurunkan lekuk punggung kuda. Membuatnya dengan tenaga terakhir berhasil naik. 

 

”Ayo!” Perintahnya. Seakan-akan ia akan mulai melakukan perjalan panjang, dan itu misi penting. 

 

Maka, demikianlah. Si Kuda dan sang Ksatria mulai melakukan tugas maha dahsyatnya. Mengelana menyusuri lereng-lereng gunung di siang hari. Turun ke sungai dan masuk ke dalam hutan pada malam harinya. Melawan kabut dingin yang menusuk. 

 

Semuanya dilakukan bersama-sama berkeliling di atas kasur, dan si Kuda mesti beberapa kali mengeluarkan suara khas kuda. 

 

”Brruur!” 

 

”Turun, Abi!” Perintah sang Ksatria.

 

Dan inilah tantangan lainnya, yang berarti si kuda mesti keluar dari hutan, yang sebenarnya adalah pergi menjauhi ranjang, menuju kawasan baru membuat langkah (lutut) kuda jadi sakit-sakitan.  

 

Kawasan baru ini bukanlah hutan sebenarnya, tapi lantai tegel di ruang sebelah. 

 

Lantai tegel bukan kasur beralas kapuk yang empuk jika Anda menjadi seekor kuda. Maka, bisa dibayangkan bagaimana kuda menahan nyeri persendian menahan ksatria di atasnya, yang sudah mencapai 12 kg. 

 

”Brrerre...” Si Kuda kelelahan, dan membuatnya berinisiatif istirahat. 

 

”Kuda haus, nak!” 

 

”Minum.” Sang Ksatria dengan gagahnya menyodorkan tangannya seperti sedang memegang kendi air. 

 

”Syrup... Sryp..”

 

”Ayo!” Perintah kembali sang Ksatria.

 

Perjalanan diputuskan dilanjutkan sesuai petunjuk sang Ksatria. Lama mereka berkeliling masuk kembali ke dalam hutan, melewati lembah dan naik ke atas bukit, sampai akhirnya si Kuda merasakan punggungnya basah.

 

”Sepertinya, kencingki di atas kuda, nak?”

 

Sang Ksatria santai berseloroh: ”Ayo!!!”

 

 

Senin, 08 Februari 2021

Garasi Mini Banu

 

Rabu, 27 Januari 2021

Tidur Sebagai Gajah

Belum lama saya menutup laptop setelah selesai presentase via zoom, Banu berlari masuk ke dalam kamar sambil mengacung-acungkan handphone milik mamaknya.


"Abi... Abi. Gajah. Topeng gajah."

Rupanya ia ingin dibuatkan topeng gajah setelah melihat akun IG yang khusus memposting segala hal tentang gajah. Ya, kalau Banu rewel ingin ber-IG ria, maka hanya akun IG itulah yang ingin ia lihat berlama-lama.

Di situ ternyata ada gambar seorang anak dibuatkan topeng gajah oleh ibunya, dan Banu juga ingin seperti itu.

Setelah mengerti keinginannya, saya bergegas membongkar bekas kardus yang saya simpan di sudut kamar. Dulunya kardus-kardus bekas itu ingin saya bikin jadi lemari buku, tapi sampai sekarang malah hanya tersimpan begitu saja seperti sampah.

"Untuk apa kardusnya," cegah Lola.

"Bikin topeng, to."

"Pakai kertas Abi, itu coba lihat kertas ji dipake."

"Tenang saja. Tunggu dan lihat. Lebih bagus kalau pakai bahan kardus."

Saya seketika menunjukkan keahlian yang mengagumkan itu. Gunting, spidol, dan karet saya kumpulkan. Saya gambar pola kepala gajah dan mulai mengguntingnya.

Taraa... jadilah topeng gajah diinginkan Banu. Betapa riang ia memakainya, dan sepertinya malam ini ia ingin tidur sebagai gajah.


Banu saat menggunakan topeng gajahnya

 

Minggu, 10 Januari 2021

Keajaiban Banu

Ada begitu banyak keajaiban di dunia ini, dan kadang semua itu berlalu tanpa kita ketahui.

Percayalah kata saya ini, dan ini sama seperti ketika Anda tidak menyadari seinci rambut Anda bergerak lebih panjang dari 2 detik sebelumnya. Atau seperti ujung kuku-kuku di jemari Anda yang tambah panjang tanpa Anda saksikan saat Anda tertidur di malam hari.

Tetangga saya, setelah berbulan-bulan tidak bertemu, pagi tadi keluar bersama anaknya, yang tumbuh lumayan pesat dengan tubuh anaknya yang makin subur. Berbulan-bulan sebelumnya, Adam, begitu nama anak tetangga saya itu, tidak sebesar yang saya lihat pagi ini. Ia seperti buah semangka yang dikarbit tiap hari. Disuplai pupuk dan air yang lebih dari cukup.

"Adam, tambah besar lo, " Celetuk saya kepada istri.

"Iya, lah. Adam minum susu 8 kali sehari, belum lagi vitaminnya," timpal Lola.

Saat itu Lola bersama Banu, sedang makan bersama. Dan saya baru saja masuk setelah dari seorang tukang jahit untuk mempermak baju-baju yang kebesaran.

"Adam sepertinya jadi obsesi ibunya, ya? "

"Huss. Jangan begitu." Sindir Lola.

Saya kadang cenderung berlebihan memandang sesuatu, tidak terkecuali saat melihat Adam yang makin besar dan makin besar.

"Sepupu-sepupu Adam memang gemuk-gemuk".

Tanpa saya minta, Lola tiba-tiba bersuara.

Dan, begitulah perbincangan selingan pagi ini. Saya hanya berujar singkat jangan sampai anak-anak dibesarkan melalui tumpukan obsesi orangtua. Hanya karena ingin terlihat sama, anak-anak dipaksa untuk memenuhi ambisi orangtuanya.

Bagaimana dengan Banu? Seperti Adam, Banu adalah bagian keajaiban-keajaiban alam yang sering saya abaikan. Ia tumbuh, tingginya, rambutnya, giginya, bahkan kukunya yang baru hari kemarin dipotong.

Semua itu nyaris saya lupakan, dan baru menyadarinya jika perubahan itu demikian mencolok.

Salah satu keajaiban alam yang dimiliki anak-anak adalah pertumbuhan egonya yang makin tinggi bersamaan dengan kosakata-kosakata baru yang terkadang tidak dimengerti saat diucapkan.

Kadang karena itu Banu sering bertingkah seperti orang dewasa. Egonya ingin dimenangkan. Dan karena itu keajaiban lainnya muncul di rumah: pertengkaran-pertengkaran kecil bersama Banu.