1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10. Angka 6 pasti luput Banu sebutkan, meskipun ia pernah menghapalnya dengan lengkap. Sekarang, justru angka itu hilang dari ingatannya. Mungkin, belakangan ini waktunya banyak ia habiskan bersama gadget. Jarang belajar dan lebih banyak menyanyikan lagu “Burung Kakatua”.
“Burung kakak Ayman tuaaa.. hinggap di jendelaa..”
“Bukan Burung Kakak Ayman, nak, Burung Kakatua...”
Banu selalu diingatkan, tapi frase itu yang justru jadi lirik kesenangan, yang
sering ia nyanyikan.
Ayman, adalah kakak sepupu Banu. Satu tahun usianya di
atas Banu, dan jika mereka bertemu, mainan-mainan Banu akan menjadi surga bagi
mereka. Rumah akan seperti wahana dunia anak-anak. Mainan di mana-mana.
Sering mereka berdua saling mengirim video jika tidak
bisa saling menelpon. Saat Ayman ingin disunat beberapa minggu kemarin, Ayman
mengamuk dan hanya ingin menelpon Banu melalui video call. Ayman tinggal di
Jeneponto, dan saat disunat ia di Bulukumba mengunjungi neneknya.
Sekarang, Ayman sudah sembuh dari luka sunatnya. Dan
“butonya” jadi lebih khas seperti bentuk sunatan umumnya. Hanya tiga hari kalau
tidak salah ia sudah mampu bermain-main seperti biasa.
Jadi, saya merasa lucu sendiri jika Banu menyanyikan
lagu di atas, yang menyebut “burung” Ayman tua. Banu belum paham, bahwa
“burung” bisa memiliki banyak arti, apalagi di dalam imajinasi orang dewasa.
Itu sebabnya, saya selalu mengggunakan kata “buto”
untuk menunjuk alat kelamin Banu. Bukan “matahari” seperti sebutan saya untuk
menyebut alat kelamin laki-laki bagi teman-teman saat bercanda.