Jumat, 25 Januari 2019

Banu dan Shock Therapynya

JALANAN belum sesak oleh kendaraan. Pagi itu lenggang saja. Sekira pukul 8 saya sudah berada di RS Paramount. Di lantai lobby belum ada satu pun pasien. Pegawai masih satu dua berdatangan. Belum ada tanda-tanda aktivitas sebagaimana umumnya rumah sakit.

Lola belum tiba. Ia masih dalam perjalanan bersama Banu dalam gendongannya.

Saya mengecek notifikasi hape barangkali ada informasi yang terlewatkan.

"Ping"

"Ping"

Beberapa pesan WA masuk ketika saya masih di jalan. Semuanya belum saya baca.

"Jadi Ananda saja"

"Ke Ananda ma ini"

"Langsungmiq ke sana."

Di tengah jalan Lola berubah pikiran. Ia berganti arah seketika.

Semula kami ingin ke RS Paramount, tapi mengingat pengalaman sebelumnya dan kecil kemungkinan ditangani secepatnya oleh dokter anak, Lola berganti arah: RS Ibu Anak Ananda.

Karena masih pagi, saya agak linglung mengingat-ingat RS Ananda. Di jalan apa ia? Di mana alamatnya? Di sebelah mana ia? Satu hal yang saya ingat di pagi itu saya pernah sebelumnya ke sana ketika menemani istri seorang karib bersalin. Tapi, di mana? Ingatan saya timbul tenggelam.

"Ping"

"Ping"

"Ananda yang di Landak"

Eureka. Itu dia. Di jalan Landak!

Seketika saya meninggalkan ruang lobi. Tanpa menunggu lift, saya menggunakan tangga ke lantai basement. Menuju parkiran dan bergegas menuju jalan Landak alamat RS Ananda berada.

Tidak sampai limabelas menit saya sudah tiba di RS Ananda. Naik menuju lantai satu dan menunggu kedatangan Lola. Sekira lima menit Lola tak kunjung datang. Saya menghubunginya via WA. Tidak ada tanda-tanda panggilan diangkat. Celaka. Energi hape tinggal satu persen. Sial.

Karena tak sabar. Saya menunggunya di depan pintu. Sesekali keluar melihat jika ada mobil yang masuk. Nihil.

Jam menunjukkan delapan lewat. Sudah hampir pukul sembilan. Mobil yang ditumpangi Lola belum juga tiba.

Penasaran, saya bergegas ke IGD. Tidak jauh dari pintu loby saya membukanya. Ternyata, Lola sudah di dalam. Banu nampak tertidur. Ia menggendongnya. Muka Banu sudah baikan dari sebelumnya. Hampir lebih satu jam lalu ia menangis hingga mukanya pucat.

Melihat mereka berdua saya lega. Tapi, bagaimana dengan Banu?

Pagi itu pagi yang menyerupai teror. Sekitar jam lima, Banu, seperti kebiasaannya, terbangun untuk menetek. Namun anehnya, sembari menangis ia enggan menetek. Sesuatu yang janggal. Dicoba berkali-kali Banu tetap menolak menetek. Berkali-kali ia palingkan wajahnya. Tangisannya terdengar berbeda. Erangannya ganjil. Aneh.

Karena tangisannya semakin menjadi-jadi kami bergantian menggendongnya. Biasanya dengan cara ini tangisan Banu akan cepat tenang. Selang beberapa lama tangisannya tidak berhenti. Yang aneh, semakin ke sini paras Banu berubah pucat. Perasaan saya jadi tidak enak. Ini kali pertamanya Banu menangis hingga pucat.

Saya menduga perut Banu sakit. Sebab dalam gendongan ia meronta-ronta. Melihat itu saya mengelus-elus punggungnya sembari melantunkan penggalan bacaan ayat suci. Saya lihat responnya. Tidak berubah. Kepalanya semakin berkeringat. Gerakan kakinya malah tidak menunjukkan tanda-tanda sakit perut.

Anehnya, karena wajahnya yang pucat dan tangisannya yang tak kunjung berhenti, saya menduga-duga Banu sempat melihat mahluk halus. Didorong kepanikan yang mulai datang, pikiran saya jadi aneh, memang. Saya bacakan saja segera shalawat dan doa Nadi Ali. Sial. Doa Nadi Ali hanya berhasil saya bacakan setengahnya saja. Saya lupa lanjutan setengahnya. Akhirnya saya hanya perbanyak shalawat, terutama shalawat kepada putri Rasulullah.

Tangisan Banu berhenti. Malanganya tidak lama ia menangis lagi. Ia masih berkeringat. Badannya meronta-ronta seolah-olah minta dilepaskan.

Sampai di sini saya menduga ada yang salah dengan diri Banu tengah terjadi, tapi entah apa?


Sehabis Subuh, Banu berangsur-angsur tenang. Melihatnya kembali sedia kala, kami berdua berkesimpulan Banu hanya jengkel karena terlambat menyusui. Memang sebelumnya ia menangis rewel karena tidak kunjung diberikan ASI. Sudah kebiasaan Banu tidak suka jika ASI ibunya terlalu penuh. Itulah sebabnya, seperti biasanya, sebelum menetek, Lola mengurangi sedikit ASInya dengan memerahnya. Itu memudahkan Banu mengisapnya dengan nyaman.

Saya sedang membuka-buka buku ketika Lola setengah berteriak dari dalam kamar. Ia memanggil dengan nada kaget. Sesuatu tengah terjadi dengan Banu. Seketika saya beranjak ke dalam kamar. Lola tersentak kaget, di dalam popok feses Banu berwarna merah. Itu darah. Ya, pagi itu feses Banu bercampur darah segar.

Saya kaget. Lola uring-uringan memanggil-manggil nama anaknya. Ia ingin menangis melihat keadaan Banu yang aneh itu. Keadaan ini pertama kalinya bagi kami berdua. Tidak ada referensi sebelumnya tentang keadaan yang mendera Banu. Lola panik. Ia ingin langsung melarikan Banu ke rumah sakit.

Setelah menenangkan diri beberapa saat, saya mengecek kondisi Banu. Mukanya sedikit pucat. Bibirnya sedikit lebih putih dari sebelumnya. Saya pegang kepalanya. Tidak demam. Tidak juga menggigil. Saya buka bajunya. Suhu tubuhnya nampak normal. Telapak kakinya juga masih sedikit merah. Secara umum Banu nampak baik-baik saja walaupun ia sedikit pucat. Ia bahkan tengah tertidur seperti biasa. Aneh.

Tanpa pikir panjang Lola berganti pakaian dan berlari menuju tetangga mencari bantuan dan keterangan. Mungkin saja ada info bermanfaat. Saya menduga-duga melihat Banu yang seperti itu ada gangguan di sistem pencernaaannya. Mungkin ada yang salah dengan ASInya belakangan ini. Tapi kecil kemungkinan.

Kemungkinan kedua saya menduga lubang anus Banu terjadi sobekan sehingga terjadi pendarahan. Asumsi ini saya samakan dari pengalaman ambeien yang pernah mendera Lola. Mungkin saja ini masa transisi bagi Banu sebelum ia MPASI. Lubang anusnya mesti dibiasakan untuk feses yang nanti berubah keras. Tapi, mengingat usia Banu yang baru memasuki lima bulan, rasa-rasanya keadaan itu masih terlalu awal bagi Banu.

Saya segera mencari tahu lewat mesin pencari via hape. Informasi mengkerucut kepada dua jawaban: Banu terserang bakteri dan atau terjadi pendarahan pada sistem pencernaannya.

Lola datang tanpa kabar baik. Ia disarankan langsung saja dilarikan ke rumah sakit. Setelah sempat membawa Banu ke rumah dokter tidak jauh dari kompleks rumah, kami akhirnya dengan tergesa-gesa menuju rumah sakit.

"Saya cek dulu di?" Sang dokter memeriksa lubang anus Banu.

Sebelumnya ia memeriksa area dada dan perut Banu dengan stetoskop. Normal.

"Berapa kali berak darah?"

"Baru pagi ini, dok." Saya jawab dengan yakin.

"Berapa kali berak dalam sehari?"

"Biasa dua-dua hari baru BAB, dok"

"Biasa ini terjadi sama bayi. ASIji?

"Iye, dok." Kali ini Lola yang menjawab.

Setelah menjelaskan singkat tentang ASI yang mudah terserap tubuh dan butuh waktu lama bagi bayi ASI untuk BAB, sang dokter mengatakan tidak usah khawatir tentang kondisi Banu.

"Kan ini baru pertama, kita observasimi dulu 1-2 hari dedekta. Kalau masih berak darah selama dua hari baru bawami ke sini lagi."

"Artinya tidak apa-apaji anakku, dok?"

"Tidakji. Kontipasi namanya ini"

Seketika sang dokter menjelaskan secara sederhana tentang apa itu konstipasi.

"Konstipasi lawannya diare. Karena fesesnya yang berubah keras karena terserap semua ASInya, itumi berdarah anus bagian dalamnya karena bergesakanki," jelas sang dokter sambil menempelkan kedua jarinya mengilustrasikan makna gesekan.

"Baik-baikji dedekta. Observasimi saja dulu nah."

Begitulah kami tidak lama di IGD. Bahkan kami tidak mesti diregistrasi karena keadaan Banu yang dinyatakan sehat-sehat saja. Lola sudah kembali tenang. Berkali-kali ia menciumi Banu yang berceloteh sendirian memainkan bibirnya. Tidak lama Lola memesan grab. Saya ke bawah menuju parkiran mengambil motor dan bergegas pulang.

Di perjalanan pulang saya ketawa-ketawa sendiri. Biar bagaimana pun Banu menang satu kosong. Pagi belum genap ia berhasil memberikan kami shock therapy. Sesuatu yang kami duga akan kami temukan lebih banyak lagi kedepannya.