JALANAN belum sesak oleh
kendaraan. Pagi itu lenggang saja. Sekira pukul 8 saya sudah berada di RS
Paramount. Di lantai lobby belum ada satu pun pasien. Pegawai masih satu dua
berdatangan. Belum ada tanda-tanda aktivitas sebagaimana umumnya rumah sakit.
Lola belum tiba. Ia masih
dalam perjalanan bersama Banu dalam gendongannya.
Saya mengecek notifikasi
hape barangkali ada informasi yang terlewatkan.
"Ping"
"Ping"
Beberapa pesan WA masuk
ketika saya masih di jalan. Semuanya belum saya baca.
"Jadi Ananda
saja"
"Ke Ananda ma
ini"
"Langsungmiq ke
sana."
Di tengah jalan Lola
berubah pikiran. Ia berganti arah seketika.
Semula kami ingin ke RS
Paramount, tapi mengingat pengalaman sebelumnya dan kecil kemungkinan ditangani
secepatnya oleh dokter anak, Lola berganti arah: RS Ibu Anak Ananda.
Karena masih pagi, saya
agak linglung mengingat-ingat RS Ananda. Di jalan apa ia? Di mana alamatnya? Di
sebelah mana ia? Satu hal yang saya ingat di pagi itu saya pernah sebelumnya ke
sana ketika menemani istri seorang karib bersalin. Tapi, di mana? Ingatan saya
timbul tenggelam.
"Ping"
"Ping"
"Ananda yang di
Landak"
Eureka. Itu dia. Di jalan
Landak!
Seketika saya meninggalkan
ruang lobi. Tanpa menunggu lift, saya menggunakan tangga ke lantai basement.
Menuju parkiran dan bergegas menuju jalan Landak alamat RS Ananda berada.
Tidak sampai limabelas
menit saya sudah tiba di RS Ananda. Naik menuju lantai satu dan menunggu
kedatangan Lola. Sekira lima menit Lola tak kunjung datang. Saya menghubunginya
via WA. Tidak ada tanda-tanda panggilan diangkat. Celaka. Energi hape tinggal
satu persen. Sial.
Karena tak sabar. Saya
menunggunya di depan pintu. Sesekali keluar melihat jika ada mobil yang masuk.
Nihil.
Jam menunjukkan delapan
lewat. Sudah hampir pukul sembilan. Mobil yang ditumpangi Lola belum juga tiba.
Penasaran, saya bergegas ke
IGD. Tidak jauh dari pintu loby saya membukanya. Ternyata, Lola sudah di dalam.
Banu nampak tertidur. Ia menggendongnya. Muka Banu sudah baikan dari
sebelumnya. Hampir lebih satu jam lalu ia menangis hingga mukanya pucat.
Melihat mereka berdua saya
lega. Tapi, bagaimana dengan Banu?
Pagi itu pagi yang
menyerupai teror. Sekitar jam lima, Banu, seperti kebiasaannya, terbangun untuk
menetek. Namun anehnya, sembari menangis ia enggan menetek. Sesuatu yang
janggal. Dicoba berkali-kali Banu tetap menolak menetek. Berkali-kali ia
palingkan wajahnya. Tangisannya terdengar berbeda. Erangannya ganjil. Aneh.
Karena tangisannya semakin
menjadi-jadi kami bergantian menggendongnya. Biasanya dengan cara ini tangisan
Banu akan cepat tenang. Selang beberapa lama tangisannya tidak berhenti. Yang
aneh, semakin ke sini paras Banu berubah pucat. Perasaan saya jadi tidak enak.
Ini kali pertamanya Banu menangis hingga pucat.
Saya menduga perut Banu
sakit. Sebab dalam gendongan ia meronta-ronta. Melihat itu saya mengelus-elus
punggungnya sembari melantunkan penggalan bacaan ayat suci. Saya lihat
responnya. Tidak berubah. Kepalanya semakin berkeringat. Gerakan kakinya malah
tidak menunjukkan tanda-tanda sakit perut.
Anehnya, karena wajahnya
yang pucat dan tangisannya yang tak kunjung berhenti, saya menduga-duga Banu
sempat melihat mahluk halus. Didorong kepanikan yang mulai datang, pikiran saya
jadi aneh, memang. Saya bacakan saja segera shalawat dan doa Nadi Ali. Sial.
Doa Nadi Ali hanya berhasil saya bacakan setengahnya saja. Saya lupa lanjutan
setengahnya. Akhirnya saya hanya perbanyak shalawat, terutama shalawat kepada
putri Rasulullah.
Tangisan Banu berhenti.
Malanganya tidak lama ia menangis lagi. Ia masih berkeringat. Badannya
meronta-ronta seolah-olah minta dilepaskan.
Sampai di sini saya menduga
ada yang salah dengan diri Banu tengah terjadi, tapi entah apa?
Sehabis Subuh, Banu
berangsur-angsur tenang. Melihatnya kembali sedia kala, kami berdua
berkesimpulan Banu hanya jengkel karena terlambat menyusui. Memang sebelumnya
ia menangis rewel karena tidak kunjung diberikan ASI. Sudah kebiasaan Banu
tidak suka jika ASI ibunya terlalu penuh. Itulah sebabnya, seperti biasanya,
sebelum menetek, Lola mengurangi sedikit ASInya dengan memerahnya. Itu
memudahkan Banu mengisapnya dengan nyaman.
Saya sedang membuka-buka
buku ketika Lola setengah berteriak dari dalam kamar. Ia memanggil dengan nada
kaget. Sesuatu tengah terjadi dengan Banu. Seketika saya beranjak ke dalam
kamar. Lola tersentak kaget, di dalam popok feses Banu berwarna merah. Itu
darah. Ya, pagi itu feses Banu bercampur darah segar.
Saya kaget. Lola uring-uringan
memanggil-manggil nama anaknya. Ia ingin menangis melihat keadaan Banu yang
aneh itu. Keadaan ini pertama kalinya bagi kami berdua. Tidak ada referensi
sebelumnya tentang keadaan yang mendera Banu. Lola panik. Ia ingin langsung
melarikan Banu ke rumah sakit.
Setelah menenangkan diri
beberapa saat, saya mengecek kondisi Banu. Mukanya sedikit pucat. Bibirnya
sedikit lebih putih dari sebelumnya. Saya pegang kepalanya. Tidak demam. Tidak
juga menggigil. Saya buka bajunya. Suhu tubuhnya nampak normal. Telapak kakinya
juga masih sedikit merah. Secara umum Banu nampak baik-baik saja walaupun ia
sedikit pucat. Ia bahkan tengah tertidur seperti biasa. Aneh.
Tanpa pikir panjang Lola
berganti pakaian dan berlari menuju tetangga mencari bantuan dan keterangan. Mungkin
saja ada info bermanfaat. Saya menduga-duga melihat Banu yang seperti itu ada
gangguan di sistem pencernaaannya. Mungkin ada yang salah dengan ASInya
belakangan ini. Tapi kecil kemungkinan.
Kemungkinan kedua saya
menduga lubang anus Banu terjadi sobekan sehingga terjadi pendarahan. Asumsi
ini saya samakan dari pengalaman ambeien yang pernah mendera Lola. Mungkin saja
ini masa transisi bagi Banu sebelum ia MPASI. Lubang anusnya mesti dibiasakan
untuk feses yang nanti berubah keras. Tapi, mengingat usia Banu yang baru
memasuki lima bulan, rasa-rasanya keadaan itu masih terlalu awal bagi Banu.
Saya segera mencari tahu
lewat mesin pencari via hape. Informasi mengkerucut kepada dua jawaban: Banu
terserang bakteri dan atau terjadi pendarahan pada sistem pencernaannya.
Lola datang tanpa kabar
baik. Ia disarankan langsung saja dilarikan ke rumah sakit. Setelah sempat
membawa Banu ke rumah dokter tidak jauh dari kompleks rumah, kami akhirnya
dengan tergesa-gesa menuju rumah sakit.
"Saya cek dulu
di?" Sang dokter memeriksa lubang anus Banu.
Sebelumnya ia memeriksa
area dada dan perut Banu dengan stetoskop. Normal.
"Berapa kali berak
darah?"
"Baru pagi ini,
dok." Saya jawab dengan yakin.
"Berapa kali berak
dalam sehari?"
"Biasa dua-dua hari
baru BAB, dok"
"Biasa ini terjadi
sama bayi. ASIji?
"Iye, dok." Kali
ini Lola yang menjawab.
Setelah menjelaskan singkat
tentang ASI yang mudah terserap tubuh dan butuh waktu lama bagi bayi ASI untuk
BAB, sang dokter mengatakan tidak usah khawatir tentang kondisi Banu.
"Kan ini baru pertama,
kita observasimi dulu 1-2 hari dedekta. Kalau masih berak darah selama dua hari
baru bawami ke sini lagi."
"Artinya tidak
apa-apaji anakku, dok?"
"Tidakji. Kontipasi
namanya ini"
Seketika sang dokter
menjelaskan secara sederhana tentang apa itu konstipasi.
"Konstipasi lawannya
diare. Karena fesesnya yang berubah keras karena terserap semua ASInya, itumi
berdarah anus bagian dalamnya karena bergesakanki," jelas sang dokter
sambil menempelkan kedua jarinya mengilustrasikan makna gesekan.
"Baik-baikji dedekta.
Observasimi saja dulu nah."
Begitulah kami tidak lama
di IGD. Bahkan kami tidak mesti diregistrasi karena keadaan Banu yang
dinyatakan sehat-sehat saja. Lola sudah kembali tenang. Berkali-kali ia
menciumi Banu yang berceloteh sendirian memainkan bibirnya. Tidak lama Lola
memesan grab. Saya ke bawah menuju parkiran mengambil motor dan bergegas
pulang.
Di perjalanan pulang saya
ketawa-ketawa sendiri. Biar bagaimana pun Banu menang satu kosong. Pagi belum
genap ia berhasil memberikan kami shock therapy. Sesuatu yang kami duga akan
kami temukan lebih banyak lagi kedepannya.