DPT. Besok Banu akan diberikan DPT
lanjutan setelah semalam saya membuka whatsapp dan menghubungi tantenya demi
memastikan kapan waktu terbaik Banu diimunisasi. Setelah dua kali diberikan
vaksin tahap awal, selebihnya Banu selalu divaksin tantenya yang bekerja di
Puskesmas tidak jauh dari tempat kami tinggal. Sekarang, satu-satunya tanda
Banu telah divaksin adalah luka bekas suntik di otot lengan kirinya. Tanda itu
dibuat setahun lalu oleh petugas puskesmas yang bertingkah seolah-olah ia
adalah perempuan. Parasnya berkulit cerah lumayan tampan dengan rambut
mengkilap khas pekerja muda yang senang tampil klimiks. “Dulu orangnya gagah,”
kata nenek Banu yang sebenarnya tidak usah ia ucapkan karena penampilannya
memang demikian. Ia dengan baik hati selalu dapat dipanggil ke rumah ketika
Banu sudah waktunya diberi vaksin sehingga kami tidak mesti repot-repot antri
di puskesmas atau rumah sakit. Tanda di lengan Banu itu terlihat kontras
berbentuk lingkaran dengan warna daging yang agak lebih cerah dari warna kulit aslinya.
Saya yakin suatu saat warna kulit itu akan berubah menyerupai bekas luka
jahitan di lutut kanan milik saya, berwarna gelap dan mengkilap. Tanda ini mau
tidak mau akan ia bawa hingga dewasa. Suatu waktu jika ia sudah mahir
bercerita, bisa saja ia akan mengenang dengan mencari tahu kenapa tanda itu
tersemat di otot lengannya saat ia saling memamerkan kisah masa lalu bersama
teman-temannya. Mungkin itu akan ia alami saat ia berusia enam atau delapan
tahun sambil menarik lengan bajunya memperlihatkan bekas suntik dari baju
seragam yang ia kenakan. Kini usia Banu genap delapanbelas bulan. Ia makin
mahir menunjuk jenis buah-buahan ketika saya menyebutkan nama-namanya dari
poster yang sengaja saya tempel di kamar tempatnya sering bermain. Jika saya
menyuruh menunjuk buah durian atau semangka, Banu dengan sigap bakal menengok
ke pojok kiri atau kanan bawah posisi dua buah itu berada. Di poster itu ada
duapuluh delapan jenis buah yang seiring waktu akan ia ketahui kecuali
buah-buahan yang tumbuh di negeri-negeri yang jauh. Dari duapuluh delapan
buah-buahan itu tidak akan semua ia rasakan mengingat ada satu jenis buah yang
baru saya lihat penampakannya. Di poster itu buah itu bernama “pea” dengan nama
asing ditulis “pheaches”. Buah ini berbentuk mirip pear dengan warna kemerahan
dan memiliki biji samar-samar menyerupai kurma kering di tengahnya. Sudah pasti
saya tidak tahu seperti apa rasa buah itu seperti sama pastinya saya tidak tahu
dari mana asal buah itu ditanam dan tumbuh. Suatu kali ketika di Youtube banyak
chanel berisi seseorang yang duduk di belakang piring berisi makanan berminyak,
sayur lalapan, dan hewan-hewan laut, yang memamerkan bunyi-bunyian saat semua
itu dikunyah, saya malah tertarik kepada pengalaman orang-orang Korea ketika
kali pertama merasakan sensasi buah nangka atau jeruk bali atau durian atau
pepaya dan rambutan. Raut wajah mereka bisa seketika berubah kaget seolah-olah
buah yang mereka makan berasal dari negeri yang tidak mereka ketahui asal
usulnya. Rasa buah-buah ini tidak tumbuh di tanah mereka dan baru merasakannya
ketika beraneka jenis buah sudah malang melintang melintasi benua-benua.
Pengalaman merasakan pertama kalinya buah-buah yang dianggap aneh itu, sama
sensasionalnya ketika lidah orang-orang Eropa merasakan makanan nusantara yang
dibumbui dari rempah-rempah khas nusantara beberapa abad lalu. Dari sensasi
makanan inilah orang-orang Eropa menemukan pengalaman yang tidak mereka temui
di negeri asalnya, suatu kehidupan “surgawi” yang kelak menjadi cikal bakal
kolonialisme. Pisang merupakan buah yang tidak disukai Banu, sedangkan betapa
bersemangatnya ia ketika diberikan semangka. Sebelum musim penghujan datang
meninggalkan genanngan di mana-mana, hampir sering kami menyimpan semangka di
mesin pendingin. Ini sewaktu-waktu dibutuhkan jika Banu menginginkannya dan
mulai memakannya hingga ke kulit-kulitnya. Giginya yang berjumlah delapan
membuat pekerjaan menggigit adalah tindakan lain yang ia sukai selain menyusu
menggunakan otot lidahnya. Di usianya sekarang, Banu sering menyusu dengan
memaksa ibunya memperlihatkan gambar-gambar dari buku yang ia sukai. Jadi
setiap ingin menyusu, ia sudah siap sambil memegang buku cerita sebagai tanda
kebiasaan barunya. Galibnya, kebiasaan baru ini bakal membuatnya lelap tertidur
jika dua matanya mulai lelah melihat-lihat bermacam-macam gambar. Saya tidak
tahu apakah gaya menyusu itu sama sensasionalnya seperti ketika orang-orang
Eropa merasa kaget pertama kali dengan rasa durian.
Rabu, 19 Februari 2020
Subscribe to:
Postingan (Atom)