Alhamdulillah. Tahun ini Banu
menggenapkan usianya. Sehari sebelum perayaan kemerdekaan Indonesia, Banu resmi
berusia satu tahun. Masih segar diingatan pertama kali melihat di hari
kelahirannya, saya masih tidak percaya sudah memiliki seorang anak. Laki-laki
malah. Aneh, saat itu saya bahkan sulit mendefinisikan perasaan yang saya
alami. Satu hal saya pikirkan bagaimana nasib istri saya pasca operasi sesar.
Perutnya kali kedua dibelah setelah sebelumnya pernah hamil di luar kandungan.
Banu adalah keajaiban bagi kami
berdua. Di masa-masa pertumbuhannya kami sering dibuat terkejut melihat hal-hal
apa saja yang ia alami. Mulai dari kenaikan berat badan, tangisan di malam
hari, fokus sorot mata, pertumbuhan rambut, sampai pertumbuhan giginya.
Semuanya satu demi satu datang silih berganti membawa suatu pengertian bahwa
kelak ia akan tumbuh dewasa.
Dari hari ke hari, malam demi
malam, kami belajar menjadi orangtua. Satu demi satu hal-hal baru tersingkap.
Bagi Lola, istri saya, ini masa-masa yang luar biasa berat karena ia mesti
beradaptasi menjadi seorang ibu yang berbagi tubuh dengan anaknya. Tapi saya
yakin, walaupun tidak cukup, insting keibuannya bakal membantunya menghadapi
masa-masa seperti ini.
Praktis dari semua itu kami harus
menjadi lebih sadar diri, bagaimana menangani segala hal yang berkaitan dengan
Banu. Biar bagaimana pun anak pertama adalah pengalaman pertama. Ia mesti
dihadapi meski belum banyak dibekali pengetahuan cara mengasuh anak.
Banu semakin aktif di bulan-bulan
terakhirnya. Ia bahkan sudah pandai
merayap—suatu tindakan yang susah payah ia lakukan. Kelak Banu akan paham,
dunia di hadapannya tidak akan cukup dikenali hanya lewat merayap. Bahkan tidak
sekedar melangkah. Lebih dari itu, kelak engkau harus menggunakan pikiranmu jua..
Banu, selamat satu tahun, Nak.