”Pawa wit, pawa wit, pawa wit, poteko, poteko, potekoo..”
Banu bernyanyi. Dengan kosakata yang tidak
tercatat dalam KBBI. Sudah tentu karena itu sama sekali tidak saya ketahui apa artinya.
Mungkin juga Anda.
Seringkali memang ia suka meniru suara
apa saja, lagu-lagu yang ia dengarkan, suara binatang, bahkan ungkapan-ungkapan
kalimat percakapan antara saya dan Lola, ibunya.
Percaya atau tidak, beberapa hal absurd
pernah saya lakukan untuk Banu agar ia bisa fasih berbicara, dan salah satunya
dengan mengusap emas di sepanjang lidahnya, mengharapkan sesuatu keajaiban
bakal terjadi setelah itu. Entah di usia Banu yang keberapa saya melakukan itu,
yang saya lakukan diiringi salawat sama seperti saat di hampir tiap malam
jelang ia terlepas tidur, saya ucapkan juga di ubun-ubun kepalanya.
Sebagai keluarga muda, tidak ada emas
yang saya miliki, yang saya gunakan dalam kelakuan dianggap berbau tahayul itu,
kecuali menggunakan cincin emas Lola
yang jarang ia pakai itu.
Itu mitos yang berkembang di sekitar
kita yang membuat banyak orangtua merasa perlu melakukannya.
Jika Anda menyukai burung beo dan
menginginkan agar ia dapat meniru suara apa saja, tindakan ini juga dapat Anda
coba.
Anda tahu, pada umumnya manusia suka
mempercayai apa yang tidak ia ketahui bagaimana cara kerja sesuatu itu dapat
terjadi. Membiarkannya berlangsung berdasarkan hukum-hukum alam di luar dari
pengetahuan mereka. Di titik itu, manusia menyerahkan sepenuhnya kepada iman. Memberikan
peluang lebih besar kepada kekuatan di luar akal sehat mereka.
Selama ini, mitos bukannya telah hilang seperti kepercayaan masyarakat modern, yang mencari-cari bentuk kepercayaan yang lebih canggih dan progressif. Setelah terjadi revolusi kesadaran, banyak orang menemukan sains seperti kebahagiaan masyarakat terdahulu mendapatkan mitos sebagai sistem penjelas atas seluruh pengalaman yang mereka lakukan. Saat ini hampir setiap orang mendudukkan sains sebagai satu-satunya paradigma keilmuannya, sembari ia meninggalkan mitos yang sebenarnya hanya berganti rupa ke dalam wujud yang lebih rasional dan masuk akal. Sains, meskipun getol sampai hari ini memukul mundur dan berusaha mematikan cerita-cerita tak masuk akal, tetap akan berkedudukan juga seperti mitos. Ia akan menjadi mitos baru dengan kadar kemasukakalan yang lebih dari kepercayaan sebelumnya.
Sampai sekarang, mitos yang lain juga
masih saya lakukan. Seringkali jika pulang larut malam, pantangan bagi
seseorang untuk sesegera masuk ke dalam rumah. Lebih afdol menunggu sejenak di
luar untuk membuang energi negatif agar tidak ikut masuk ke dalam rumah. Jika
Anda memiliki anak yang masih bayi, pantangan ini akan terus Anda ingat selama
ini menjadi bagian dari keyakinan Anda.
Pengaruh negatif adalah tafsir saya
saja, yang sebenarnya, dimaksudkan oleh orangtua di kampung sebagai makhluk
halus. Anak bayi bisa peka dengan urusan makhluk gaib. Bagi sebagian orang,
kemampuan ini dianggap ada kaitannya dengan jiwa bayi yang belum ternoda oleh
pengalaman buruk dalam hidupnya, sehingga mata batinnya mampu menangkap
gelagat jahil makhluk halus di
sekitarnya. Percaya atau tidak, saya bukan dalam rangka untuk meminta
kepercayaan Anda pada bagian ini.
Tapi, Banu pernah mengalami semacam
peristiwa ganjil. Suatu kali, di suatu malam belum lama Isya mulai meninggi, ia
menangis tidak seperti biasa. Popoknya tidak sama sekali basah karena kencing
dan bukan karena itu yang mendorongnya menangis. Tidak mungkin juga karena
lapar, dan saat itu ia juga tidak sedang sakit perut. Tangisannya semakin
menjadi-jadi meski ibunya telah menggendongnya selama sekian lama.
”Ada yang ikuti Banu pulang, kayaknya?”
ungkap kecurigaan nenek Banu dalam bahasa Bugis.
Malam itu atas bantuan tetangga Banu
saya bawa ke seorang sanro kampung tidak jauh dari rumah. Dari punggungnya
dibacakan sesuatu yang dimulai dengan ucapan basmallah, satu-satunya kalimat
yang saya tahu apa yang sedang diucapkan saat itu. Tidak sampai satu menit ”baca-baca”,
entah apa, yang saya duga ia ambil dari potongan ayat suci Al Qur’an dilakukan.
Tangisan Banu mulai mereda dan berhenti tidak lama setelah itu. Belum sampai di
rumah Banu sudah terlelap tidur selama di perjalanan.
”Itu pohon besar di depan gerbang
perumahan, memang ada penunggunya di situ.”
Saya mengangguk meski tidak sepenuhnya
percaya dengan omongan tetangga. Tapi, di depan perumahan memang tumbuh
menjulang tinggi dua pohon mangga hutan, tegak berdiri seperti gerbang raksasa
berwarna hijau. Tempat paling pas bagi ular, kelelawar, dan tawon untuk
bersarang. Di malam itu, sebelum Banu menangis seperti sedang meratapi sesuatu,
kami sempat keluar rumah dan baru pulang setelah magrib lewat.
Pengalaman adalah guru yang paling
berharga, dan setelah kejadian itu, sampai sekarang saya tidak akan
meninggalkan petuah orang kampung menyangkut adab-adab ketika pulang ke rumah saat
malam hari.
Sebelum Banu mampu berjalan, saya
sering diimbau Bapak mengibaskan sajadah yang saya pakai setelah salat Jumat,
di kedua lutut Banu. Menurut keyakinan itu akan mempercepat seorang anak bisa
segera berjalan. Saya melakukannya. Percaya tidak percaya imbauan orangtua
kerap bertuah. Kali ini juga dengan iringan salawat.
Butuh waktu berbulan-bulan bagi seorang
anak manusia agar dapat berjalan tegak menyerupai seorang manusia dewasa.
Kecakapan alamiah manusia berbeda dengan binatang, yang seperti anak kucing,
misalnya, tidak membutuhkan waktu yang lama agar dapat menggunakan keempat
kakinya secara bergantian saat mulai berjalan. Bagi manusia, meski hanya menggunakan
kedua kakinya, butuh penyesuaian bagi otak kiri dan otak kanannya agar kedua
kakinya dapat digerakkan tidak secara bersamaan. Dan, untuk tiba di waktu itu,
bagi bayi ia mesti terlebih dahulu mengalami fase merangkak, menguatkan otot
lehernya, menyiapkan tulang punggungnya, kedua titik di sikunya, dan menyetel
fungsi kerja kedua bagian otaknya.
Banu karena bertubuh gempal melewati
fase ini dengan caranya sendiri. Ada suatu masa ia kesulitan mengangkat
tubuhnya yang berat. Menyeimbangkannya, dan mulai berani untuk bertumpu dari
kedua telapak kaki dan lututnya.
Bulu mata Banu termasuk panjang oleh
karena itu hasil perbuatan ibunya. Di awal-awal Banu belum berusia sebulan Lola
sering menjilat tempat bulu matanya, dan entah bagaimana bulunya tumbuh panjang
seperti sedang menggunakan bulu mata kw.
Ini imbauan yang berbau mitos, tapi
hasilnya bekerja, setidaknya untuk diri Banu.
Sekarang ilmu parenting berkembang,
disertai nubuat-nubuat modern yang mengajarkan cara mendidik anak idealnya
bagaimana dan seperti apa. Tidak jarang hal-hal di atas mulai ditinggalkan
menggantikan praktik perawatan anak yang pernah dilakukan orangtua dulu.
Mitos dihilangkan karena dianggap
tahayul. Masyarakat bertransformasi menjadi entitas yang ilmiah menyebabkan
paradigma kebudayaan mesti diafirmasi melalui cara berpikir rasional. Sains
menjadi ilmu yang mencakup segala hal, tidak terkecuali bagaimana cara mendidik
anak berganti pendekatan ilmu pendidikan modern yang rasional dan behavioristik.
Anak-anak akhirnya tumbuh tidak dengan alam budaya orangtuanya, yang dengan
sendirinya masa depannya tidak akan tumbuh bersamaan kebiasaan, pendekatan,
tradisi, dan kepercayaan yang sekian lama hidup dalam pola pikir masyarakat dan
semangat lokalitasnya.
Bagi saya akan fatal ketika menyamakan pengalaman masyarakat Barat dengan pengalaman masyarakat kita ke dalam satu kategori masyarakat modern. Hukum evolusi perkembangan masyarakat seperti dibayangkan ilmuwan Barat tidak sama sekali bergerak linier dan universal. Setiap masyarakat berkembang akan sangat ditentukan dari pengalaman historisnya, kebutuhan, dan bagaimana mereka mengorientasikan masa depannya. Di masyarakat Timur seperti kita akan sangat menarik dan merupakan ciri khas jika mitos bertahan bersamaan dengan tumbuhnya sains. Legenda masih hidup di tengah-tengah masyarakat global, dan keyakninan khas bangsa Timur yang membaca Barat dengan semangat pembaruan.
Ada satu buku menarik belakangan ini
yang saya baca secara bergantian dengan buku-buku lain, yakni tulisan bernas
dari Reza Aslan, master teologi dari Universitas Harvard berkebangsaan Iran. Tuhan Sebuah Sejarah Manusia, judul
bukunya yang berisi tentang pikiran skeptiknya tentang tuhan dan agama. Bagi
Aslan, Tuhan dalam pengalaman manusia dan kebudayaannya tidak mencukupi untuk
melukiskan pengalaman keberimanan atasnya. Dia percaya Tuhan itu universal dan
hadir di mana-mana. Karena itu, Aslan menggali pengalaman manusia menyangkut
keimanannya atas Tuhan, yang diyakininya hanya dari pengalaman manusialah Tuhan
dapat hadir dan direfleksikan ke dalam konsep-konsep yang bisa dipercaya.
Itulah sebabnya, setiap pengalaman
manusia berbeda-beda menciptakan kebudayaannya, dan Tuhan dari setiap
kebudayaan sering diungkapkan melalui bermacam-macam representasi berupa nama,
simbol, dan narasi kesukuannya.
Jika Anda penggemar pemikiran filsafat,
dan menyukai gaya berfilsafat Ludwig Feuerbach tentang bagaimana manusia
menciptakaan sangkaannya tentang Tuhan, maka Anda juga kemungkinannya akan
menyukai buku ini. Anda mungkin kecewa karena ternyata Tuhan hanyalah orientasi
pikiran kita yang dibumbui dari dalamnya dengan harapan-harapan ideal.
Ini seperti saat Anda dilema menentukan
siapa yang harus menggunakan satu-satunya parasut penyelamat di antara Anda
atau teman Anda. Pesawat mengalami korsleting dan membuatnya terjatuh. Dalam
situasi ini Anda harus memilih satu orang yang lebih layak melanjutkan kehidupan,
dikarenakan maut hanya menginginkan satu korban. Di film-film, sebelum mati
biasanya yang berkorban akan menyampaikan pesan dan harapan-harapan terakhirnya
kepada sang terpilih. Anda akan mati dan mengharapkan keinginan-keinginan Anda
tetap hidup melalui teman Anda yang selamat.
Banu bersama kedua kakak sepupunya: Athaya dan Ayman |
Itu analogi yang kurang cocok tapi mau
bagaimana lagi. Tuhan lebih sering kita sebut sebagai pengabul harapan-harapan
kita, persis seperti kisah lampu Aladdin. Dalam doa-doa umat manusia, Tuhan
berubah dari wujud dirinya sendiri, menjadi sesuai seperti bagaimana kebutuhan
dan harapan manusia menginginkannya. Si miskin melihatnya sebagai yang Maha
Kaya, si penderita melihatnya sebagai yang Maha Penolong, si sakit melihatnya
sebagai yang Maha Penyembuh, si kaya, kecil kemungkinan meminta pertolongan
dikarenakan ia melihat Tuhannya tidak seperti orang-orang miskin melihatnya.
Tuhan
menurut Aslan, hanya realisasi imajinal manusia yang diekspor ke dalam
konsep-konsep karena ketidaksempurnaan manusia. Tuhan, tidak lebih dari citra
antropologi manusia yang ia bicarakan sebagai teologi, kata Feuerbach.
Nah, di pembuka buku ini, Aslan
menceritakan pengalamannya di masa kecil tentang Tuhan yang ia bayangkan
seperti bapaknya, yang tinggi beruban dan memiliki kekuatan lebih besar dari
dirinya, sehingga berkemampuan dapat naik ke atas langit dan membangun rumah di
atasnya sebagai tempat tinggalnya.
Ia tidak yakin dari mana awalnya datang
konsep Tuhan semacam itu, mungkin dari lukisan berwarna biru dan merah di kaca-kaca jendela di
gereja, yang umumnya menampakan wajah Yesus dari Nazaret, atau di tempat lain.
Aslan sendiri tidak yakin.
Saya akhirnya berpikir kapan saya mulai
kali pertama memiliki konsep tentang Tuhan di pikiran saya, dan bukan konsep agama
seperti diajarkan melalui kedua orangtua saya. Di umur berapa saya mulai
memiliki pengertian mengenai Tuhan, di saat apa dan melalui apa. Apakah melalui
agama, atau dari cara dan cerita lain. Apakah saya saat itu juga menganggapnya
seperti seorang bapak, makhluk yang saya bisa lihat sehari-hari bekerja siang
malam, merokok, dan di waktu lain terlihat memperbaiki mesin motor.
Tuhan bagaimanakah ia pertama kali saya
kenal?
Sekarang, Banu sebelum tidur setelah
membaca doa berupa surah Al Fatiha dan Al Ikhlas—tentu dengan cara ucapannya
sendiri, terbiasa membuat semacam pengaduan kepada Tuhan.
”Ya Allah, Banu mau tidur. Maafkan
Banu, ya Allah.”
”Ya Allah, minta rezekinya, mau beli
mobil.. mau beli susu. Mau beli mainan.”
”Ya Allah, minta maaf terima kasih, ya
Allah. Terima kasih mamak, terima kasih Abi…”
Begitulah, suatu pengalaman yang tidak
ia dapatkan kecuali dari Lola, ibunya. Betapapun ia kerap melakukannya sambil
sedikit berteriak, Tuhan belum sepenuhnya ia pahami. Kebiasan ini belum lama ia
lakukan. Saya kaget saat mendengarnya pertama kali, dan mulai saat itu
penasaran bagaimana Tuhan sebagai suatu nama dapat diketahui dan dimengerti
anak-anak seperti Banu.
Tapi, saya tidak perlu seserius mengikuti orangtua pada umumnya yang sangat agamamis mendidik anaknya. Untuk seusia Banu
saat ini, ia mesti banyak menghabiskan waktunya untuk bermain. Saya belum
terdorong untuk menjelaskan apa arti Tuhan bagi ”pikirannya” yang masih
kanak-kanak. Cukuplah ia tahu bahwa ada sesuatu yang ia jadikan tujuan
pengharapan setiap malam, meski itu hanya agar ia dapat memiliki mainan dan
susu yang sering ia minta jika sudah bermain.
Antara Tuhan dan pikirannya, masih
terbentang jarak usia yang panjang. Ada dua titik yang demikian kompleks untuk
saling dipertemukan kelak.
Untuk saat ini, kalimat-kalimat semacam
lagu Banu di atas yang lebih menarik perhatian saya. Dari mana ia mengambilnya, apa artinya untuk dirinya, dan terutama untuk saya. Tantangan yang lumayan sulit tidak berbeda dengan satu dua
kata yang suka ia ucapkan dengan caranya sendiri, yang membutuhkan referensi ke
dalam pengalaman bersama menyangkut apa yang sedang ia sebutkan.
Anak-anak sekarang lebih banyak
menghadapi tantangan zaman tidak seperti satu atau dua dekade lalu, atau
generasi kakek nenek mereka. Mereka akan
tumbuh dalam satu dunia yang setiap detik mengalami disrupsi total, dan membuat
kesadaran dan pengalaman mereka akan lebih beraneka. Lebih mudah menjadi bagian
dari penduduk global meski hanya akan terus terhubung melalui dunia jaringan,
yang membuat mereka akan lebih mudah cemas dan depresi akibat tekanan
ekspektasi dunia yang menuntut progressivitas.
Anak-anak di masa depan akan lebih
banyak menuntut kebebasannya, lebih banyak perlu perhatian menyangkut
hak-haknya. Begitu pula kewajiban-kewajiban sosialnya tidak akan lagi
dipengaruhi sekat-sekat rasial, agama, dan suku. Mereka akan tumbuh bersamaan
dengan kemajuan teknologi informasi, pudarnya pesona masa lalu, dan sains
sebagai cara berpikir dan pembuktian keyakinannya. Mereka akan tumbuh menjadi anak-anak zamannya.
Selamat Hari Anak Internasional 20
November 2021.
0 Kommentarer:
Posting Komentar